mimbaruntan.com, Untan – Tanpa banyak bicara dan tak banyak diketahui mahasiswanya, sejak 13 November 2017 lalu Untan sudah menggenggam status BLU. Status yang sudah diimpikannya sejak 2008 dan baru didapatkan 10 tahun kemudian. Moratorium pemerintah dan pemenuhan segala persyaratan adalah sebabnya. Status ini menjadi impian semua PTN yang masih berstatus Satker, sebelum beralih ke Badan Hukum Milik Negara. Alasan utamanya karena pengelolaan keuangan yang mandiri serta lebih efisien dalam segi pengelolaan keuangan. Inilah yang digadang-gadang menjadi solusi dari permasalahan terkait fasilitas yang berhubungan pelayanan pendidikan. Ekspekstasi yang tinggi pun digantungkan pada status baru tersebut.
Peraturan perundang-undangan membagi pola pengelolaan keuangan di PTN menjadi Satker, BLU dan Badan Hukum. Berdasarkan Buku Laporan Tahunan Kemenristekdikti tahun 2016, di antara 121 PTN di Indonesia, 86 berstatus Satker, 24 berstatus PTN-BLU, dan 11 berstatus PTN-BH. Tiga pola pengelolaan keuangan tersebut seperti membentuk paradigma bahwa status adalah kasta yang menunjukkan tingkatan suatu PTN. Status yang disandang menjadikan gengsi bagi Perguruan Tinggi tersebut. Lihatlah Perguruan Tinggi besar di Indonesia seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, dan sebagainya yang sudah lama menjadi Badan Hukum Milik Negara.
BLU juga dianggap batu loncatan sebelum PTN menjadi Badan Hukum. BLU yang masih semi otonom menjadi Badan Hukum yang memiliki otonomi penuh dalam mengelola anggaran rumah tangga dan keuangan. BLU menawarkan pengelolaan keuangan yang lebih efisien. Apa yang didapatkan, tak perlu disetorkan ke kas negara. Pendapatan yang diperoleh bisa langsung digunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan. Ini tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 pasal 69 ayat 6. Pendapatan tersebut bersumber dari layanan jasa, hibah, dan pengelolaan aset. Berbeda dengan Satker yang pendapatannya harus di setor ke kas negara. Inilah yang dianggap sebagai perubahan sistem penganggaran tradisional menuju penganggaran berbasis kinerja. Penggunaan dana dari pemerintah tidak lagi berorientasi kepada input, tetapi sudah berorientasi kepada output.
Baca Juga : Untan Resmi Terapkan BLU
Namun BLU di Perguruan Tinggi yang semi otonom dinilai berbagai kalangan sebagai wajah setengah hati pemerintah dan ada kesan lepas tangan dalam pengelolaan instansi. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 pasal 9 ayat 1 menerangkan bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang atau jasa layanan yang diberikan. Inilah bentuk praktek bisnis yang dijalankan. Sehingga muncul istilah enterprising the government atau mewirausahakan instansi pemerintah. Ini terkesan paradoks dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 yang menjelaskan BLU dalam kegiatannya tidak mengutamakan mencari keuntungan.
Kesan “komersialisasi pendidikan” dalam keleluasaan untuk menetapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Peran Perguruan Tinggi seakan berubah dari instansi di lingkungan pemerintah yang menyediakan jasa layanan pendidikan menjadi perusahaan penyedia jasa layanan pendidikan yang tentunya profit oriented.
Pola keuangan BLU yang membuat instansi pemerintah menerapkan praktek bisnis dan dikelola secara mandiri ini pun menimbulkan keresahan terkait transparansi pengelolaan dana. Terlebih Untan, yang sejak masih Satker saja pengelolaan keuangannya tak bisa diakses oleh mahasiswa. Meskipun dalam persyaratan administratif, instansi itu harus membuat pernyataan untuk bersedia diaudit secara independen, itu tak membuat praktek-praktek kecurangasn dalam pengelolaan BLU bisa dibumihanguskan. Pendapatan BLU dari beberapa sumber, satu di antaranya adalah kerjasama dengan pihak ketiga. Selain kekhawatiran adanya faktor kepentingan yang bertentangan dengan tujuan pendidikan, penyelewengan dalam pengelolaan dana BLU juga merupakan hal yang patut disoroti. Hal ini terjadi pada Universitas Jendral Soedirman yang telah ditetapkan menjadi PTN-BLU sejak 2009. Mantan rektornya, Edy Yuwono terlibat penyelewengan dana coorporate social responsibility (CSR) PT. Aneka Tambang.
Bukan sekedar membandingkan dengan kampus luar yang sudah menerapkan BLU dan terjadi masalah, di Untan sendiri yang di tahun 2016, terjadi tindak pidana korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Pendidikan Universitas Tanjungpura. Mark-up ini melibatkan M. Nasir yang saat itu menjabat Kasubag Perlengkapan Untan dan Ya’ Irwan Syahrial, Direktur Utama PT. Annisa Farma Dewi. Padahal saat itu status Untan masih Satker. Bagaimana kalau sudah BLU yang pengelolaan keuangannya lebih mandiri?
Selain khawatiran di atas, yang juga menjadi kegelisahan mahasiswa adalah saat kenaikan status, diiringi juga dengan kenaikan UKT. BLU menjadi indikator sebuah PTN dilabeli kampus mahal.
Untan kini sedang berbenah dengan dana hibah dari Islamic Development Bank (IDB). Modernisasi dilakukan, tampilan dipercantik, pohon ditebangi untuk pembangunan. Namun ada kesenjangan antara muka dan isinya. Saat wajah Untan dipercantik, di fakultas-fakultas masih menyelenggarakan perkuliahan dengan keterbatasan. Ada kesan Untan hanya mempercantik wajahnya saat menjemput BLU.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Untan sudah siap ber-BLU yang tujuannya meningkatkan kualitas layanan pendidikan dengan mengandalkan aset yang sudah ada tanpa menaikkan UKT? Melihat aset Untan yang dinilai oleh pengamat ekonomi, Eddy Suratman yang masih belum optimal pengelolaannya, menimbulkan kekhawatiran pada Pola Pengeloaan Keuangan BLU Untan nantinya. Aset-aset yang dimiliki Untan seperti perkebunan sawit di Toho, lahan kosong yang stategis di pusat kota, lapangan golf, jasa penyewaan gedung, dan lain-lain harusnya dioptimalkan dulu pengelolaannya.
Jangan sampai di awal proses tersebut Untan terseok-seok, ingin mandiri di segi pengelolaan keuangan, namun kesulitan membiayai instansi dan akhirnya mengorbankan mahasiswa dan mengingkari janji meningkatkan kualitas layanan pendidikan karena kurangnya persiapan dalam pengelolaan aset. Agaknya, BLU jangan hanya menjadi status tanpa merubah kualitas pelayanan pendidikan bagi mahasiswa dan kesejateraan karyawan.
Status baru Untan jangan sampai menghilangkan identitas dari pendidikan yang merupakan hak bagi semua warga negara. Tujuan meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan tidak boleh mengorbankan warga negara dari golongan bawah yang ingin menikmati bangku Perguruan Tinggi.