Teruntuk kita yang terus berjuang tiap harinya, apa kabar kesehatan mental kita pada hari ini? Semoga senantiasa baik-baik saja, meski pada kenyataannya semua tidak selalu baik-baik saja.
Sujarwoto dalam studinya yang berjudul “A Tool to Help or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia” menyatakan bahwa “The Findings show that social media use harms adult mental health; an increas of one standard deviation in adult use of social media is associated with 9% increase in CES-D score. ….. The findings suggest that policies offering advice to wise use of online social media are needed to protect adults from the harmful effects of online social media on their mental health”. Oke, secara singkat jurnal yang dipublikasikan di International Journal of Mental Health and Addiction pada tahun 2019 ini menunjukkan hasil penelitian yang melibatkan 22.423 individu dengan hasil bahwa penggunaan sosial media pada orang dewasa di Indonesia mempunyai pengaruh yang buruk bagi kesehatan mental sehingga dibutuhkan kebijaksaan dalam pemakaian media sosial tersebut.
Rosen et al pada tahun 2013 melakukan studi berjudul “Is Facebook creating “iDisorders”? The link between clinical symptoms of psychiatric disorders and technology use, attitudes and anxiety” pada 1.143 mahasiswa pengguna Facebook dan tebak faktanya, hasil studi menemukan beragam gangguan kesehatan mental pada variabel pemakaian Facebook seperti antisocial personality disorder, major depressive disorder, dysthymia, bipolar-mania, dan perilaku kompulsif. Well, kalian pasti sudah tidak asing dengan beberapa gangguan tersebut bukan? Nah itu.
Baca juga: Mengenang Soe Hok Gie Sosok Idealis, Brilian & Nasionalis Yang Selalu Kesepian
Pernah merasa begitu stres ketika berinteraksi di media sosial? “Duh, kok dia enak banget ya hidupnya?”, “Duh, kenapa followers sama like di akun gua dikit banget, ya? Gua musti gimana nih?”, “Duh, kira-kira ada apa ya? Kok gua bisa kelewatan informasi gini sih, gimana nih?”.
Tahukah kalian? Faktanya, kualitas pertemanan yang rendah dan tingginya frekuensi penggunaan media sosial berdampak sangat besar pada peningkatan stres dan khawatir atau gelisah berlebihan (anxiety), lho (Selfhout et al, 2009). Dan lagi, banyaknya interaksi negatif dan minimnya interaksi positif pada pola penggunaan media sosial sangat erat kaitannya dengan kemunculan gejal-gejala depresi (Davila et al, 2012). Nah itu, sungguh jelas-jelas media sosial itu candu dan menakutkan, namun kita masih seringkali tidak bisa beranjak dalam artian berhenti untuk terlalu terbawa dengan media sosial. Sekian juta pengguna media sosial nyatanya dapat membuat kita untuk berhenti bahagia, membuat kita mengasingkan diri dari apa yang semesetinya. Depresi, dimana kita menyalahkan kondisi ketidakmampuan kita mencapai “standar” yang ada di media sosial, menghadapi cyber-bullying yang sangat menghantui kita. Narsisme, dimana kita berusaha menujukkan eksistensi kita dalam berbagai cara dengan tujuan memperoleh pujian akan kelebihan diri. Khawatir atau gelisah, dimana kita terjebak dalam ragam siklus yang katanya mengharuskan kita untuk ikut dan tahu, namun kita sudah mencapai batasan untuk itu. Atau insekuritas diri, dimana kita sudah menyerah atas kekurangan diri dan hilang kepercayaan pada apa yang kita miliki lantaran memandang bahwa apa-apa yang ada disana lebih baik dari apa yang kita punya.
Kehidupan di media sosial seringkali memaksa kita untuk tetap eksis dengan cara menampilkan apapun itu yang dikemas menarik di mata yang maha netizen hingga kita lupa bahwa, hell, it is my life, everyone doesn’t really care about it, and, everyone unnecessary to know what I’m doing right now or in the past or in the future. Sedikit sedikit unggah, sedikit sedikit unggah untuk konten instastory ataupun bahan posting-an. Tidak ada yang masalah dengan itu selagi kamu benar-benar bijak dengan hal tersebut, bagikan apa yang menurut kita positif untuk diketahui oleh yang lainnya, bukan malah sebaliknya, karena nyatanya dunia juga tidak terlalu peduli atas apa yang sedang kita lakukan atau apa yang kita miliki, sebaliknya, dunia bisa menjadi sedikit tragis akan hal itu. Tidak sedikit yang menyatakan bahwa apa yang orang unggah di media sosial begitu memengaruhi kehidupannya, dalam artian menimbulkan keresahan dan kegelisahan karena manusia mengenal arti iri. “Duh, kok dia enak banget ya hidupnya?”, sebuah kalimat singkat yang merusak jiwa lantaran pasca melihat unggahan yang seakan menjatuhkan dirinya, sungguh ini sangat-sangat tidak sehat. Ya, bisa jadi niat kita memang bukan untuk menciptakan hal demikian, tapi begitulah adanya, media sosial melahirkan jiwa-jiwa yang tidak sehat meski tidak selalu demikian.
Baca juga: Cantik Itu Seperti Apa Sih?
Berhenti berkaca pada cermin yang salah, cobalah bebas dari itu dan berbahagialah, kamu pantas untuk bahagia tanpa tekanan. Media sosial adalah wadah ekspresi, what you can’t tell to the world directly, you can tell to the world from this side – social media, maka percayalah bahwa kita itu berarti, kita itu berharga, jangan jatuh terlalu lama, ayo katakan pada diri kita sendiri kalau kita itu hebat, semangat.
“Apapun alasannya, jangan pernah hidup atas ekspetasi manusia”
Salam dari aku, yang sudah belajar dari itu semua,
Penulis : Dery Wahyudi