mimbaruntan.com, Untan – Pengumuman: Diharapkan kepada seluruh siswa dari SMP 2 Keruing untuk menghadiri nonton bersama film dokumenter G30S/PKI bertempatan di lapangan…
Ingatan tentang nobar itu masih terasa segar di otak saya, terlebih jika telah memasuki bulan hitam September ini. Para siswa dihimbau untuk berkumpul dalam satu lapangan besar, menggelar tikar beramai-ramai, dan menyaksikan film dokumenter berdurasi 3 jam 40 menit bersama dengan siswa SD, SMA, Guru dan warga sipil lainnya yang tak kalah antusias. Sejenak tampak rukun dan khidmat karena rasa persatuan yang kental melalui nobar film ini.
Sejarah kelam tragedi pembantaian besar-besaran di tahun 1965 tertuang jelas dalam film dokumenter G30S/PKI. Sinema buatan yang menggambarkan kegelapan Orde Baru ini diartikan bukan hanya sekedar mengabadikan peristiwa bersifat fiktif, tetapi juga sebagai wadah memorial sejarah beserta indoktrinasi terhadap kekejaman PKI dan Komunis yang digambarkan sebagai dalang peristiwa.
Baca Juga: Melindungi Anak, Menjaga Etika: Refleksi Media di Hari Pemberitaan Sedunia
Setiap tahunnya, kontroversi penayangan film ini silih berganti diperbincangkan oleh masyarakat. Film garapan Arifin C Noer dan diproduksi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto silam mengangkat detail tragedi pada 30 September 1965, ketika terjadinya penculikan dan pembunuhan petinggi militer sebagai bagian dari kudeta terhadap pemerintah Indonesia, hingga catatan sejarah demonstrasi besar-besaran pasca tragedi, Januari 1666.
Dilansir dari Antara News (24/9), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamananan, Wiranto, mengatakan bahwa menonton film sejarah memang perlu bagi generasi berikutnya, dimana anggapan ini berdasarkan pada tujuan penanaman jiwa nasionalisme khususnya untuk generasi muda.
Di sisi lain, mengingat betapa kelam dan berdarahnya adegan krusial yang ditampilkan dalam dokumenter, muncul berbagai narasi penolakan untuk melibatkan anak di bawah umur dalam nobar tersebut. Beberapa adegan sarat kekerasan yang disinyalir dapat memicu trauma psikologis dinilai tak pantas untuk dipertontonkan kepada anak-anak yang berada di bangku SD dan SMP. Sedikit banyaknya pengaruh adegan berdarah pada film mengakibatkan rekaman pada otak, sehingga sering kali menimbulkan bayang-bayang yang berulang ketika mendapati suatu pemicu yang serupa.
Studi terhadap anak-anak kelas tiga sampai delapan menunjukkan bahwa anak-anak yang pernah melihat seseorang dipukul, ditampar, hingga ditonjok akan bertambah kemungkinan mengalami kepanikan 12 persen lebih tinggi dibandingkan anak lain. Selain itu, menyaksikan kekerasan dari televisi pada anak-anak dan remaja juga meningkatkan perilaku agresif dan kekerasan, serta berhubungan dengan perilaku bermasalah. Sedangkan jika diuraikan lebih dalam, film dokumenter G30S/PKI tidak hanya turut menampilkan adegan kekerasan tiga orang Perwira TNI AD yang dilempar dan ditembak dari atas lubang buaya saja, melainkan juga visualisasi lain seperti Mayjen Donald Issac Panjaitan yang bersimbah darah di depan keluarganya dalam peristiwa penjemputan paksa.
Baca Juga: Mengukir Prestasi di Atas Kontroversi: Potret Pemimpin Masa Kini
Lantas perlukah dievaluasi pengikutsertaan anak-anak dalam menonton film Dokumenter G30S/PKI?
Oleh mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajir Effendy, siswa SD dilarang keras untuk menonton film G30S/PKI. Mengapa demikian? Tentulah karena pengaruhnya pada kesehatan mental anak-anak yang di masa pertumbuhan merekam kejadian dengan respon otak berkembang pesat daripada bagian tubuh lain. Sedangkan bagi siswa SMP, perlu adanya bimbingan dari orang dewasa atas beberapa adegan yang berisikan kekerasan verbal maupun fisik. Adapun perkara lain seperti perdebatan visualisasi film yang menjadi diskusi bersama terkait faktualitasnya, juga dapat dijadikan arahan bagi anak-anak dalam menonton film dokumenter tersebut.
Dengan begitu, kita tidak hanya beranggapan bahwa nobar film G30S/PKI sebagai indoktrinasi nasionalisme semata dan mengesampingkan dampak psikologis anak-anak yang menonton, terlebih jika mungkin ada niat terselubung dari visualisasi yang disajikan merupakan secercah memori untuk mentransfer dendam demi kepentingan tertentu, jika mengingat di lain pihak juga terdapat dampak luka psikologi yang lebih dalam bagi ribuan keluarga yang terbunuh akibat terafiliasi pemberontak PKI.
Penulis: Fitri Liani
Referensi
https://www.detik.com/bali/berita/d-7563579/sejarah-peristiwa-g30s-pki-latar-belakang-tujuan-hingga-dampak
https://www.antaranews.com/berita/654417/nonton-bareng-film-penumpasan-pengkhianatan-g-30s-pki-tak-perlu-diperdebatkan
https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-film-g30spki-mendikbud-anak-sd-sangat-tidak-dianjurkan-menonton#comments
https://www.kompasiana.com/aisyiaazzahara/62a9f57efdcdb469e938b252/dampak-psikologis-kekerasan-adegan-tv-terhadap-anak
https://kumparan.com/kumparansains/melihat-adegan-kekerasan-bisa-pengaruhi-kesehatan-mental-anak/2