mimbaruntan.com, Untan – Agustus 2021 lalu, Peraturan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi resmi disahkan oleh Nadiem Makarim. Peraturan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Budaya (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 ini dibuat untuk mengisi kekosongan dasar hukum yang melindungi kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Menyambut kebijakan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Tanjungpura (Untan) mengadakan agenda dengan tajuk “Stop Sexual Harassment! Kenali, Cegah, dan Laporkan”. Sexual harassment atau pelecehan seksual menjadi topik utama pembicaraan pada kegiatan tersebut.
Menteri Pemberdayaan Perempuan BEM FISIP Untan, Nia Nur Diani mengatakan kegiatan ini dilatarbelakangi oleh pengetahuan mahasiswa mengenai isu kekerasan seksual belum merata. Kurangnya wadah penyampaian serta kurangnya pengenalan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Untan turut andil dalam minimnya pengetahuan tersebut.
“Sudah cukup banyak yang peduli tentang kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Hanya saja mereka kebingungan karena belum ada wadah untuk melaporkan. Terutama belum tahu adanya Satgas di Untan,” ujarnya (2/3).
Tatkala pengecekkan fitur Berani Bicara pada Oktober 2022 lalu, sekitar 30 laporan pelecehan seksual yang diterima oleh BEM FISIP Untan. Nia pun mengaku terdapat salah satu mahasiswa melaporkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen.
“Di FISIP itu malah bukan cuma bercanda, tapi (dosen) memang udah serius ngajak anak bimbingannya ke hotel. Terus juga ada yang melapor kalau mereka digodain sama dosen-dosen itu, dan kita berikan kartu kuning ( tanda peringatan),” ungkapnya.
Baca Juga: 16HAKTP: Tolak Tabu, Bicarakan Kekerasan
Berkenaan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus, Rifky Setya Anugrah selaku dosen Ilmu Politik menerangkan adanya relasi kuasa yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan seksual. Faktor lingkungan juga menjadi variabel penting kasus tersebut akan mendapat perhatian atau tidak.
“Hal seperti ini sebenarnya bukan hanya masalah si korban dan si pelaku, tapi orang-orang di lingkungan ini juga harus sadar bahwa kasus itu kekerasan seksual yang tidak bisa dibiarkan dan didiamkan. Namun ketika itu terjadi, terkadang orang disekitar menutup mata, seakan dia tidak mau tahu bahwa kejadian (kasus) ini terjadi. kalo dia berbicara, dia merasa akan ditarik pada satu masalah yang lebih panjang,” paparnya.
Berkaitan dengan sosialisasi pelecehan seksual untuk dosen, Rifky berujar belum mendapatkan itu. Keinginan Rifky ialah sosialisasi tersebut dapat mencakup seluruh warga kampus.
“Sosialisasi bukan hanya bagi mahasiswanya, perlu juga bagi dosennya. Dosen memang belum pernah diberi sosialisasi/pelatihan terkait bagaimana dosen harus bertindak menghalangi atau mengurangi kekerasan seksual,” tutupnya.
Baca Juga: Kasus KBGO Meningkat Selama Pandemi, Perempuan Bukan Objek Seksual
Mengacu Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021, Satgas PPKS bertanggung jawab atas pemberian sosialisasi kekerasan seksual kepada warga kampus. Namun pengakuan Presiden Mahasiswa (Presma) BEM FISIP Untan, Sahril Novian Pratama berbanding terbalik. Baginya Satgas PPKS Untan belum melaksanakan tugasnya secara jelas.
“Kami pengennya bersinergi, tapi transparansi dari Satgas kurang. Minimal ada keterlibatan dari masing-masing fakultas sehingga apabila ada kasus bisa dilaporkan, serta bisa dilakukan penanganan yang lebih dalam ke tingkat Untannya,” harapnya.
Bernama Rina, mahasiswi Untan ini menyatakan ia tidak mengetahui keberadaan Satgas PPKS Untan. Ia turut menyayangkan minimnya pengenalan mengenai Satgas dan perannya di kampus.
“Belum tau sih kalo ada satgasnya, baru tau kemaren pas seminar. Kalo bisa sih satgasnya harus dikenalin lagi ke mahasiswa dan ada tindakan yang jelas biar kita ngerasa kampus udah aman buat kita,” ucapnya ketika diwawancarai via WhatsApp pada Senin (6/3).
Membagikan sedikit ceritanya, Rina sebagai seorang penyintas merasa ironi ketika ada pelecehan verbal maupun seksual di lingkungan kampus yang seringkali dianggap sepele.
“Pelecehan seperti catcalling atau beberapa kali menyentuh bagian yang ga boleh disentuh, lucunya kadang pada ga minta maaf malah nyalahin balik,” ujarnya.
Ia mengharapkan agar Satgas dapat lebih aktif memberikan pemahaman mengenai kekerasan seksual di kampus. Ia beranggapan jika pihak kampus bergerak dalam program-program itu maka kampus akan menjadi ruang yang lebih aman.
“Aku harap satgas kampus yang berhubungan dengan masalah ini diaktifkan lagi, kasih pemahaman kepada mahasiswa kalau hal ini bukan hal sepele. Kita sebenernya bisa bangun kampus yang lebih aman tapi harus ada penggeraknya terlebih dahulu dan aku harap pihak kampus bisa menggerakkan program-program yang mencegah hal seperti ini terjadi di kampus,” pungkasnya.
Penulis: Putri dan Lulu
Editor: Hilda