mimbaruntan.com, Untan – Sejak tahun 1980, bumi telah mengalami pemanasan global yang berdampak signifikan. Peningkatan suhu global, perubahan pola cuaca yang tidak stabil, kenaikan permukaan air laut, dan kerusakan ekosistem yang merugikan banyak spesies adalah beberapa dampak negatif yang terjadi.
Aktivitas manusia, terutama emisi gas rumah kaca dari industri dan transportasi, diperkirakan menjadi penyebab utama dari pemanasan global ini. Selain itu, hutan-hutan yang tidak lagi rimba tidak mampu untuk menyerap banyak Karbon dioksida (Co2).
Dalam Seminar Tahunan 2024 (SEMESTA) yang diadakan Program Studi (prodi) Geofisika pada Minggu, (10/3), Erma Yulihastin selaku Peneliti Ahli Utama Klimatologi dan Perubahan Iklim Organisasi Riset Kebumian dan Maritim (ORKM)-BRIN Bandung dan pengisi materi memaparkan sebuah grafik yang menunjukkan kenaikan pemanasan global dari tahun 1980 sampai saat ini.
“Pada 1980, terjadi kenaikan yang cukup drastis dalam grafik, yang menunjukkan anomali positif yang mencerminkan peningkatan suhu. Seharusnya bumi kita masih memiliki anomali negatif yang menunjukkan suhu dingin, meskipun terdapat sedikit kenaikan yang disebabkan oleh faktor alam seperti letusan gunung. Namun, faktor alam ini tidak dapat kita kendalikan. Sejak 1980, anomali tersebut menjadi positif karena peningkatan karbon dioksida (Co2) di atmosfer.” jelas Erma.
Baca Juga: Bahasan Lingkungan Hidup Jadi Topik Pinggiran Debat Pilpres 2024.
Berdasarkan monitor satelit pada September 2023 suhu bumi sudah mencapai 1,76 Celcius. Suhu ini sudah melebihi ekspektasi ilmuwan yaitu di atas level 1,5 Celcius. Kenaikan suhu ini juga diprediksi akan tercapai lebih cepat yaitu pada 2034. Jika tidak segera dihentikan dengan membatasi emisi, lingkungan akan terdegradasi dan sektor perikanan akan turut terdampak.
Perubahan iklim menjadi sorotan utama di berbagai belahan dunia, dengan dampaknya yang meluas di berbagai wilayah. Tak terkecuali Kalimantan, bagian integral dari Indonesia yang turut merasakan efek global ini. Selama beberapa dekade terakhir, pulau ini telah menyaksikan perubahan dramatis, termasuk peningkatan suhu yang mengakibatkan kekeringan, perubahan pola hujan yang menyebabkan banjir dan longsor, serta ancaman serius terhadap keanekaragaman hayati.
Menghadapi tantangan tersebut, Andi Ihwan, yang juga merupakan pemateri dalam SEMESTA, menjelaskan bagaimana nenek moyang, yaitu Suku Baduy menjaga keseimbangan alam. Suku Baduy memiliki kepercayaan bahwa mereka mengemban tugas untuk menjaga harmoni dunia, Oleh sebab itu masyarakatnya selalu menjaga kelestarian lingkungan sebagai upaya mereka dalam menjaga keseimbangan alam semesta.
“Seperti Suku Baduy atau suatu suku di Sulawesi Selatan yang tidak boleh membawa atribut yang bersifat teknologi, seperti handphone apalagi motor, bahkan harus berjalan dengan kaki telanjang. Sampai sekarang alamnya tetap terjaga.” ungkapnya
Andi juga memaparkan, strategi penting dalam pengendalian polusi udara yaitu melalui teknologi bersih dan inovasi energi terbarukan. Maka dari itu peran pendidikan dan penelitian menjadi hal yang sangat krusial untuk mengatasi tantangan ini. Kolaborasi antar akademisi, Non Governmental Organization (NGO) dan pemerintah juga sangat dibutuhkan.
“Kerja sama antar negara dalam pertukaran data dan teknologi serta investasi dalam teknologi bersih dan inovasi energi terbarukan, merupakan strategi penting untuk mengendalikan polusi udara global. Oleh sebab itu, pendidikan dan penelitian memiliki peran krusial dalam memahami dan mengatasi masalah lingkungan. Kolaborasi antara akademisi, NGO, dan pemerintah diperlukan untuk menjaga keberlanjutan lingkungan,” pungkasnya.
Penulis : Wahyu Anggraini
Editor : Ibnu Najaib
Referensi:
https://www.bbc.com/indonesia/dunia-57264356