Undang-Undang Disahkan dengan Partisipasi Publik Minimum
(Jakarta, 14 Oktober 2020) – Pemerintah Indonesia seyogyanya revisi Undang-Undang Cipta Kerja terbaru agar memenuhi standar hak asasi manusia internasional, kata Human Rights Watch hari ini. UU Cipta Kerja -biasa disebut juga Omnibus Law- yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat pada 5 Oktober 2020, membatasi hak dasar buruh dan melucuti perlindungan lingkungan, termasuk dengan mengancam akses masyarakat adat atas tanah dan hutan tropis yang terus berkurang.
Undang-undang baru ini secara mendasar mengurangi perlindungan bagi buruh berdasarkan UU Ketenagakerjaan tahun 2003, yang mencakup upah minimum, pesangon, cuti, tunjangan melahirkan, kesehatan, dan perawatan anak, serta menghapus perlindungan hukum dalam kontrak kerja waktu tak tertentu. Undang-undang ini juga melemahkan berbagai hukum lingkungan dan perlindungan hukum bagi kelompok-kelompok adat, meningkatkan kekhawatiran tentang perampasan lahan. Undang-undang setebal hampir 1.000 halaman ini sebagian besar dirancang oleh komunitas bisnis dengan konsultasi minim dari serikat buruh dan kelompok-kelompok lain yang terdampak.
“Menciptakan lapangan kerja dan menarik investasi adalah tujuan penting, tapi semua itu seharusnya tidak mengorbankan hak-hak dasar ketenagakerjaan dan hak-hak masyarakat adat,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia dari Human Rights Watch. “Pemerintah Indonesia seyogianya meninjau undang-undang yang disahkan dengan terburu-buru ini, menggelar dengar pendapat yang layak, dan revisi semua pasal yang melanggar hak asasi manusia.”
Hukum ini disahkan walau dapat tentangan dari serikat buruh, organisasi masyarakat sipil, ilmuwan, dan organisasi keagamaan, yang kuatir akan dampak lingkungan dan perburuhan. Demonstrasi menentang hukum ini langsung meletus di puluhan kota di Indonesia, dan polisi menangkap ratusan pengunjuk rasa, terutama di Jakarta dan Surabaya. Beberapa demonstrasi diwarnai kekerasan termasuk beberapa halte bus dihancurkan di Jakarta, sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyebut bahwa polisi menggunakan kekerasan yang berlebihan dalam menghadapi para pengunjuk rasa.
Aliansi Jurnalis Independen melaporkan bahwa polisi menyerang atau menghapus gambar dari sedikitnya 28 wartawan, sebagian besar saat mereka sedang memotret demontrasi, di Bandung, Jakarta, Palu, Samarinda, Semarang, Surabaya, dan Tanjung Pinang. Pada 8 Oktober, polisi menangkap enam wartawan di Jakarta. Mereka dibebaskan tanpa dakwaan 24 jam kemudian.
Presiden Joko Widodo pertama kali mengusulkan “omnibus law” untuk meningkatkan daya saing Indonesia pada Oktober 2019. Ia mengatakan ingin menyederhanakan proses pengajuan izin usaha di semua sektor bisnis, termasuk izin pembebasan lahan, untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja, menggenjot pembangunan infrastruktur, dan menarik investasi asing.
Bulan November, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto minta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) membantu pembentukan satuan tugas dalam menyusun rancangan omnibus law. Keanggotaannya mencakup para pengusaha terkemuka tanpa anggota dari serikat buruh atau organisasi lingkungan. Hartarto mengajukan rancangan tersebut ke parlemen pada 8 Februari, namun karena pandemi Covid-19, Badan Legislasi baru memulai pembahasan pada April.
Sejak awal konsultasi publik minim, dan masyarakat sulit mendapatkan versi resmi dari rancangan hukum yang memuat sekitar 185 pasal dalam 15 klaster. YLBHI dan banyak organisasi lain protes kurangnya transparansi. Bulan Agustus, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) minta pemerintah untuk “tak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja, dalam rangka penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan mencegah konflik sistem politik, hukum tata negara, tata laksana dan pemerintahan.”
Organisasi lingkungan telah memperingatkan bahwa persyaratan yang kurang ketat untuk analisis mengenai dampak lingkungan dan sejumlah tindakan lain yang melemahkan perlindungan lingkungan di bawah omnibus law ini akan memperburuk penggundulan hutan.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyatakan bahwa sejumlah ketentuan dalam omnibus law sangat bertentangan dengan RUU untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan menyederhanakan proses pengakuan tanah adat yang telah diperdebatkan di parlemen sejak 2009 tanpa pernah disahkan.
Omnibus law tersebut juga tampak bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 yang menyatakan bahwa masyarakat adat seharusnya menguasai hutan adat dan bahwa pemerintah seyogyanya membatasi dan mengecualikan hutan adat dari kendali pemerintah.
Sebuah laporan Human Rights Watch tahun 2019 mengungkapkan bagaimana tambal sulam hukum yang lemah, diperparah dengan minimnya pengawasan pemerintah, dan kegagalan sebagian besar perkebunan kelapa sawit dalam memenuhi tanggung jawab hak asasi manusia mereka, telah berdampak negatif pada hak masyarakat adat atas hutan, mata pencarian, makanan, air, dan budaya.
“Sebagian besar dari isi omnibus law adalah soal investasi, dan nyaris tak memberikan apapun untuk melindungi tanah milik masyarakat adat,” kata Rukka Sombolinggi, sekretaris jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. “Undang-undang ini akan memudahkan perusahaan untuk merampas lahan.”
Untuk membaca lebih lanjut soal masyarakat adat dan penggundulan hutan di Indonesia, silakan kunjungi:
https://www.hrw.org/news/2019/09/22/indonesia-indigenous-peoples-losing-their-forests
Untuk membaca lebih lanjut laporan Human Rights Watch tentang Indonesia, silakan kunjungi:
https://www.hrw.org/asia/indonesia
Penulis : Andreas Harsono
Untuk keterangan lebih lanjut, silakan hubungi:
Di Jakarta, Andreas Harsono (Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia): +62-815-950-9000 (ponsel); atau harsona@hrw.org. Twitter: @andreasharsono
Di Sydney, Elaine Pearson (Bahasa Inggris): +61-400-505-186 (ponsel); atau pearsoe@hrw.org. Twitter: @pearsonelaine
Di Washington, DC, John Sifton (Bahasa Inggris): +1-646-479-2499 (ponsel); atau siftonj@hrw.org. Twitter: @johnsifton