Pemilihan presiden (Pilpres) Republik Indonesia tinggal menghitung hari. Seluruh rakyat turut bergelora menanti pemimpin baru yang mendengar suara mereka. Tentunya, bukan seorang pemimpin yang hanya memikirkan isi perutnya.
Hari-hari ini rakyat disuguhkan berbagai kenyataan yang rasanya membuat enggan percaya pada pemerintah. Pemerintah seakan abai terhadap nilai-nilai demokrasi yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Hal tersebut dimulai sejak isu Gibran Rakabuming Raka merupakan bakal calon wakil presiden (cawapres). Kompas.com menyebutkan Gibran resmi menjadi bakal cawapres bersama Prabowo sebagai bakal calon presiden (capres) pada Minggu, (22/10/2023) silam. Lalu, apa yang terasa begitu salah dengan pencalonan tersebut?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Gibran merupakan putra sulung Jokowi. Publik menduga ada permainan dibalik pencalonan Gibran di kontestasi Pilpres kali ini. Hal itu mulai dibuktikan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyatakan bahwa capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Putusan MK yang terkesan terburu-buru membuat warga sipil curiga bahwa memang pencalonan Gibran adalah hal yang sudah diatur sedemikian rupa oleh Jokowi, terlebih Anwar Usman, Ketua MK yang menjabat saat itu merupakan paman Gibran.
Baca Juga: “Mahasiswa Kalbar Tuntut Kenetralan dalam Kontestasi Pemilu”
Putusan tersebut mengantar Anwar Usman pada pemberhentian tidak dengan hormat karena dinilai melanggar etik sebagai Hakim Konstitusi. Hal tersebut tertuang pada Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 02/MKMK/L/11/2023. Tak hanya Anwar yang melanggar etik, tetapi juga Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menetapkan bahwa KPU telah melanggar etik karena menerima dan memproses pencalonan Gibran. Kompas.com menyebut bahwa pencalonan Gibran diterima tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Masyarakat seharusnya bisa menilai kecurangan yang bukan main pada pemilu kali ini, bahkan sejak masa pencalonan capres dan cawapres. Berbagai usaha (atau mungkin bisa disebut intervensi) dilakukan pihak-pihak berwenang untuk memenangkan kepentingan mereka. Kedua lembaga yang menjadi harapan masyarakat dalam penegakkan hukum faktanya tak berdaya dan tunduk pada yang berkuasa.
Tak hanya sampai di situ, Jokowi melontarkan pernyataan kontroversial bahwa presiden boleh berpihak dan berkampanye saat diwawancarai pada (24/2/2024).
“Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja, yang paling penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden boleh loh memihak. Boleh,” ucapnya.
Baca Juga: Parewa, Deru Nafas Perburuan dalam Pergerakan
Rakyat digemparkan dengan pernyataan tersebut. Di mana letak netralitas Jokowi sebagai orang nomor satu di Indonesia?
Baru-baru ini juga masyarakat sipil dibuat geram akan sikap Jokowi sebagai presiden yang gencar menggelontorkan bantuan sosial (bansos) menjelang pemilihan umum (pemilu). Berdasarkan data hasil perolehan databoks, terjadi tren peningkatan anggaran bansos sejak pemilu 2014, 2019, dan 2024. Bansos di pemilu kali ini tembus 157,3 triliun yang sebelumnya di pemilu 2014 sebesar 97,92 triliun dan pemilu 2019 sebesar 112,48 triliun.
Pembagian bansos dikritik sebagai alat politisasi. Bansos yang diberi langsung oleh Jokowi rasanya sarat akan kepentingan personal untuk meraih suara dalam penguatan dukungan terhadap capres dan cawapres tertentu. Bansos yang seharusnya menjadi fasilitas pemerintah untuk membantu warga membutuhkan justru semata-mata dipakai untuk hal berbau elektoral.
Resah dan gelisah tumpah sejadi-jadinya pada pemilu kali ini. Jokowi yang sekarang bukanlah Jokowi yang dulu dielu-elukan karena berlatar belakang rakyat biasa, yang dianggap sepaham serasa dengan rakyat kecil. Jokowi sekarang adalah sosok mengerikan yang haus akan kuasa. Jokowi telah membohongi publik. Jokowi adalah pengkhianat bangsa. Jokowi adalah perusak demokrasi.
Terlepas dari segala pihak yang terlibat, Jokowi adalah aktor kunci. Ia yang menduduki jabatan presiden dapat dengan mudah mengatur jalannya pemilu tahun ini. Beragam bentuk skenario telah dirancang agar kekuasaan dapat dilanjutkan oleh penerusnya, agar kekuasaan tetaplah menjadi miliknya.
Penulis: Vanessa Stephanie
https://nasional.kompas.com/read/2023/10/22/19422101/prabowo-resmi-umumkan-gibran-rakabuming-raka-jadi-cawapres#google_vignette
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/06/06095191/pelanggaran-etik-ketua-kpu-dan-peluang-mendiskualifikasi-gibran?page=all
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/01/03/anggaran-bansos-2024-bertambah-rp10-triliun