Oleh Galih Pramono dan Caca Handika
mimbaruntan.com-Konservasi lahan hutan menjadi lahan pertanian merupakan upaya pemerintah guna meningkatkan hasil pertanian sehingga dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan dan bahan baku industri. Konservasi ini juga bertujuan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat lokal yang bermukim di sekitar hutan. Kedepannya dengan adanya lahan pertanian masyarakat dapat memperbaiki taraf hidupnya.
Konservasi lahan hutan menjadi lahan pertanian tentunya akan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Pengalihfungsian hutan akan merusak habitat asli bagi berbagai jenis flora dan fauna endemik. Walaupun disisi lain konservasi lahan akan memberikan banyak manfaat bagi manusia namun konservasi itu sendiri akan menimbulkan kepunahan masal bagi berbagai jenis flora dan fauna. Hutan heterogen yang tadinya diisi oleh berbagai jenis pepohonan akan berubah menjadi hutan homogen dengan 1 jenis tanaman saja akibatnya fungsi hutan sebagai penyuplai utama Oksigen ( ) akan berkurang. Daya serap hutan terhadap karbon dioksida ( ) pun berkurang. Alhasil akan terjadi peningkatan emisi gas karbon dan perubahan iklim yang ekstrim. Hutan selama ini juga berfungsi sebagai tempat tadah hujan. Hutan mampu menampung air sehingga ketika kemarau datang dapat mencegah potensi bencana kekeringan.Fungsi lain hutan sebagai perekat tanah juga berkurang sehingga banjir dan tanah longsor di musim penghujan bisa terjadi kapan saja.
Walaupun kebijakan konservasi lahan ini sangat penting untuk meningkatkan devisa negara dan meingkatkan perekonomian masyarakat. Namun banyak sekali polemik yang hadir bersamaan dengan kebijakan konservasi lahan hutan menjadi lahan pertanian Oleh sebab itu perlu adanya konsep konservasi lahan yang lebih baik agar kedepannya tercapai lingkungan yang tetap lestari.
Konsep agroforestri mungkin bisa dijadikan rujukan. Agroforestri sendiri merupakan konsep konservasi lahan hutan menjadi lahan pertanian dimana pepohonan (tanaman tahunan) di tanam berdampingan dengan tanaman pertanian (tanaman musiman).Pengaplikasian konsep agroforestri dapat dilakukan dalam waktu bersamaan ataupun bergiliran.
Agroforestri sendiri menempatkan unsur agro (pertanian), Silvo (kehutanan) dan pastura (perternakan) secara berdampingan walaupun komponen pastura tidak harus ada pada penyelengaraan agroforestri. Dari ketiga komponen tersebut dapat diambil 3 jenis konsep yang merupakan bentuk pengaplikasian agroforestri. Pertama adalah agrosilvikultur yang menempatkan komponen kehutanan dan pertanian dilaksanakan secara berdampingan. Kedua silvopastura yang menempatkan komponen kehutanan dan peternakan secara berdampingan. Terakhir adalah penggabungan ketiga komponen yang dilaksanakan secara berdampingan disebut agrosilvopastura.
Dalam penerapannya, agroforestri menempatkan LEISA (Low Exsternal Input Sustainable Agriculture) atau lebih dikenal pertanian berkelanjutan sebagai salah satu komponen pendukung.Penerapan LEISA bertujuan untuk menekan input eksternal seperti pupuk dan pestisida sintetis agar lingkungan tetap terjaga.Penggunaan unsur sintetis yang dikurangi atau dihilangkan akan diganti dengan unsur organik yang lebih ramah lingkungan. Unsur organik ini dapat diperoleh dengan mudah di alam sehingga biaya pengadaanya lebih murah. Namun input organik yang dikeluarkan akan besar ketika akan memulai penggunaan LEISA sehingga dibutuhkan biaya yang besar pula. Pada penerapan selanjutnya input eksternal yang digunakan akan jauh berkurang karena unsur-unsur organik masih banyak terkandung dalam tanah sehingga Yang perlu dilakukan selanjutnya adalah melakukan penambahan unsur hara sesuai kebutuhan.Perlu diingat bahwa LEISA tidaklah menolak penggunaan pupuk dan pestisida sintetis,hanya saja penggunaanya tidak boleh berlebihan.
Agroforesti juga menerapkan sistem polykultur artinya tanaman yang ditanam secara berdampingan memiliki tajuk yang rendah dan tinggi. Tanaman bertajuk tinggi (tanaman tahunan) berfungsi sebagai naungan. Sedangkan tanaman bertajuk rendah (tanaman semusim) harus memiliki sifat fotosintetis yang tidak langsung. Dalam sistem potykultur, akar dari tanaman tahunan akan menyerap unsur hara yang berada jauh didalam tanah, dari unsur hara ini tanaman tahunan akan tumbuh dan berkembang. Lambat laun organ-organ tanaman tahunan akan rontok dan menjadi unsur hara yang dapat diserap tanaman semusim yang hanya memiliki morfologi akar pendek. Proses ini sering disebut dengan sistem pompa. Penerapan sistem polykultur juga harus memperhatikan jarak tanaman sehingga tidak terjadi kompetisi antara tanaman tahunan dan tanaman semusim. Pemilihan jenis tanaman yang cocok juga penting untuk diperhatikan. Sehingga hasil produksi dari sistem ini nantinya dapat optimal. Sebagai contoh adalah penggunaan sistem agrosilvokultur pada konservasi lahan hutan menjadi lahan perkebunan karet alam.
Karet merupakan salah satu komoditi industri yang sangat menguntungkan. Indonesia sendiri merupakan negara dengan luas kebun karet terbesar di dunia diikuti Thailand dan Malaysia. Ironis memang negara dengan luas kebun karet terbesar ini hanya menjadi produsen karet alam kedua setelah Thailand dan Malaysia. Hal ini disebapkan kualitas dan kuantitas karet indonesia berada dibawah Thailand dan Malaysia.
Konsep agrosilvokultur sebagai bagian dari agroforestri sebenarnya dapat juga di pakai untuk mengatasi masalah diatas. Karet memiliki masa tunggu selama 3-4 tahun hingga dapat disadap getahnya. Selama masa tunggu ini lahan perkebunan tidak menghasilkan income apapun kepada petani. Bahkan akan terus memakan biaya untuk perawatan. Guna mensiasati hal tersebut petani dapat mengkombinasikan tanaman karet dengan menanam tanaman palawija, kacang tanah, jahe, dan kedelai disela-sela jarak tanam antar pohon karet. Untuk tanaman kedelai sendiri memiliki masa panen 3 bulan, jadi selama masa tunggu petani dapat memanen 12-16 kali panen. Dengan demikian petani akan mendapatkan penghasilan tambahan.Selain itu kedelai dapat bersimbiosis dengan bakteri rhizobium. Simbiosis ini akan menyerap nitrogen bebas di udara menjadi nitrogen dalam tanah yang siap diserap tanaman. Nitrogen dalam tanah ini selain diserap oleh kedelai juga diserap oleh pohon karet. Alhasil petani dapat berhemat karena beban biaya pemupukan berkurang.
Setelah 3-4 tahun, penanaman kedelai harus dihentikan agar tidak terjadi kompetisi antar tanaman. Pada masa ini pohon karet sudah tumbuh tinggi dan siap untuk disadap. Masalah akan timbul ketika gulma seperti rumput mulai tumbuh subur pada areal kebun karet. Penyemprotan menggunakan herbisidapun semakin marak dilakukan petani. Selain lingkungan yang semakin tercemar,petanipun akan dibebani dengan biaya penyemprotan tersebut. Salah satu cara untuk mensiasati hal ini adalah dengan berternak domba di areal kebun karet. Usaha peternakan domba ini pernah diteliti oleh Sub Balai Penelitian Ternak Sungai Putih,Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukan bahwa domba yang diternakan di areal kebun karet pertumbuhan badannya pesat, beranak lebih cepat, jumlah anak kembar banyak dan resiko kematianpun menurun. Gulma yang tumbuh subur dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Dengan berternak domba petani juga dapat mengurangi biaya penyemprotan dan pemupukan karena kotoran ternak juga dapat dijadikan pupuk. Selain itu petani juga tidak membutuhkan banyak waktu untuk mengurus ternaknya karena domba-domba tersebut dapat dilepas di areal kebun.
Konsep agroforestri akan berdampak sangat baik apabila diaplikasikan dengan benar. Selain meningkatkan hasil produksi petani dan mengurangi biaya produksi. Konsep ini juga ramah lingkungan karena penggunaan input sintetis dapat ditekan. Kedepannya diharapkan pemerintah dapat mengembangkan agroforestri dalam kebijakan konservasi lahan hutan menjadi lahan pertanian.
Penulis, Galih Pramono (C1011131140), Caca Handika (C1011131143) mahasiswa Agroteknologi C Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura