Oleh Galih Pramono
Mungkin sebagian besar masyarakat menganggap pacaran sudah menjadi lumrah, wajar-wajar saja, dan ada juga yang beranggapan bahwa berpacaran itu merupakan sebuah pijakan untuk mencapai jenjang yang lebih serius, yakni pernikahan. Namun, apakah pacaran itu benar-benar akan menghantarkan sepasang manusia yang bukan muhrim ke jenjang pernikahan atau hanya menghantarkanya ke jurang kenistaan? Lalu bagaimana kasusnya jika yang berpacaran itu anak usia 18 tahun ke bawah atau untuk remaja yang masih duduk di bangku sekolah? Apakah pantas kemudian mereka membicarakan tentang pernikahan setelah pacaran? Untuk itu, dalam tulisan ini akan dibahas seklumit tentang hukum berpacaran menurut islam.
Sejarah tradisi pacaran sebenarnya bukanlah muncul dari tradisi islam. Tidak ada satu riwayatpun baik itu dari Al-Quran dan Hadist yang menerangkan tentang berpacaran atau bahkan riwayat yang membolehkannya.
Berpacaran bagi sebagian orang dimaknai sebagai proses saling mengenal kepribadian lawan jenisnya. Adapun jenjang berpacaran hingga menikah ini tidak dapat dipastikan batasan waktunya. Selama dua manusia yang bukan mahram ini saling suka, maka berpacaran akan tetap berlanjut, begitulah prinsip berpacaran. Kumudian sebagian orang berdalih bahwa pacaran mucul karena cinta, bukankah Islam mengajarkan cinta pada sesama?
Memang benar bahwa Islam mengajarkan cinta. Allah menganugrahkan cinta kedalam hati manusia, baik itu cinta kepada lawan jenisnya maupun cinta kepada apapun yang disukainya. Cinta itu memang fitrah pada diri manusia, yang menjadikan kehidupan manusia berwarna-warni dan memiliki harapan. Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : Wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang lebih baik (surga). (QS Ali ‘Imran 3:14). Bahkan Allah menjadikan rasa cinta dan kasih sayang sebagai tanda bagi orang yang beriman. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (QS Maryam 19:96).
Menjadi hal yang salah apabila cinta dan rasa kasih sayang yang di ajarkan Islam dijadikan dalih untuk berpacaran. Karena sesungguhnya Islam mengharamkan aktivitas interaksi antara laki-laki dan wanita yang tidak berkepentingan syar’i seperti jalan-jalan bersama, pergi bareng ke masjid atau kajian Islam, nonton bioskop dan sebagainya yang semua aktivitas ini dilakukan saat pacaran maupun tidak. Aktivitas ini adalah pintu menuju kemaksiatan yang lain.
Berkhalwat (Berdua-duaan antara lelaki dan wanita yang bukan mahram) itu bukan saja saat berdua-duaan, walau ditempat umum dan bersama-sama yang lain, tetap saja khalwat bisa terjadi dan itu juga tidak diperkenankan. “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah ia berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut karena setan menjadi yang ketiga di antara mereka berdua.” (HR. Ahmad). Bila berkumpul bersama, hang out bareng, makan bareng dan segala pertemuan yang tidak perlu saja tidak dibenarkan di dalam Islam, apalagi aktivitas pacaran yang pasti mengarah ke maksiat tentu lebih dilarang.
Jelas bukan, bahwa pacaran itu bukan tradisi Islam. Garis besarnya bahwa pacaran ini adalah aktivitas yang dianggap proses saling mengenal antar lawan jenis namun menghalalkan interaksi haram yang menjurus kepada kemaksiatan. Setelah kita mendapatkan garis besar tentang pacaran kini kita akan membahas mengenai Ta’aruf. Apakah tuduhan dari manusia-manusia yang berkolega dengan setan, bahwa ta’arufan itu sama dengan pacaran, benar atau salah?
Ta’aruf berasal dari bahasa arab “Taarafu” = Saling Mengenal, Menurut rujukan Al Quran sebagai sumber hukum tertinggi, Kata Taaruf ada di Surah Al Hujurat ayat 13. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS Al Hujurat :13).
Ta’arufan ini merupakan salah satu rangkaian prosesi sebelum laki-laki dan wanita melangsungkan pernikahan. Sebelum ta’rufan si lelaki sebelumnya harus meminang (Khitbah) terlebih dahulu si wanita. Peminangan ini boleh dilakukan baik secara terang-terangan ataupun dengan cara sindiran, boleh dilakukan kepada wanitanya secara langsung ataupun langsung kepada walinya. Tentunya dalam meminang si laki-laki dan perempuan harus sudah mampu dan siap menikah. Jadi urutanya Khitbah-Ta’aruf-Nikah.
Tidak dikatakan serius sebuah khitbah tanpa ada izin dari wali yang memiliki wanita terebut. Karena yang membedakan khitbah-ta’aruf dengan pacaran ada dua. Pertama, adalah akad yang jelas kapan khitbah-ta’aruf itu di akhiri dengan pernikahan. Kedua, tidak ada interaksi ta’aruf yang berkhalwat. Alias ada mahram wanita yang terlibat saat terjadi interaksi. Sudah jelas bukan, bahwa tuduhan kalau Khitbah-Ta’aruf itu sama dengan pacaran adalah SALAH. Jadi Khitbah-Ta’aruf bukanlah pacaran dalam bentuk Islami. Khitbah-Ta’aruf bukan berarti sudah menikah, sehingga interaksi antara Laki-laki dan perempuan menjadi halal.
Masih kolot mau tetap pacaran? muda-mudi Islami itu gak kenal pacaran, karena pacaran bukan gaya Islami.
Referensi :
- Y. Sahiaw, Felix. 2013. Udah Pitusin Aja. PT Mizan Pustaka: Bandung.