“Kita pada dasarnya membuat aturan untuk hidup kita sendiri. Dalam hal kehidupan demokrasi, direpresentasikan oleh pemerintah”.
Karena banyaknya peraturan yang masih belum mencakup kebutuhan di masyarakat, sangat sah bila masyarakat ingin mengusulkan sebuah peraturan yang dibutuhkan di lingkungan masyarakat. Hal ini lah yang menjadi pemantik bagi Suar Asa Khatulistiwa (SAKA) untuk membuat sebuah Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Toleransi dalam Kehidupan Bermasyarakat. Pembuatan Raperda ini juga melibatkan berbagai elemen masyarakat lainnya, seperti pegiat sejarah Kalbar, Non-Goverment Organization terkait, seniman, pers, dan organisasi mayarakat sipil terkait lainnya yang berada di Pontianak.
Partisipasi publik adalah tulang punggung demokrasi, oleh karena itu SAKA membuka ruang diskusi bagi siapapun juga untuk membahas hal ini. Tak terkecuali bagi pers mahasiswa. LPM Mimbar Untan menyelenggarakan Kelompok Diskusi Terarah (KONTRA) terkait urgensi raperda penyelenggaraan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Diskusi yang diikuti oleh berbagai lembaga pers mahasiswa di Pontianak ini dilaksanakan di sekretariat LPM Mimbar Untan pada Senin (7/3). Diskusi ini mengadirkan Ningsih Sepniar sebagai perwakilan dari SAKA dan Ivan Wagner sebagai salah satu akademis hukum di Universitas Panca Bhakti (UPB) Pontianak.
Baca juga: Relevansi Permendikbud 30 Harusnya Tak Hadirkan Pro Kontra
Ningsih Sepniar, salah seorang yang turut merancang raperda ini mengungkapkan bahwa rancangan Perda ini adalah sebuah upaya melalui kebijakan untuk mencapai sikap toleran di masyarakat.
“Toleransi adalah suatu sikap, ada laki ada perempuan. Ini merupakan satu kondisi alami. Sikap toleransi ini tidak alami. Secara umum sikap toleran ini diupayakan. Salah satu upayanya adalah melalui kebijakan,” ungkapnya pada Senin (7/3) lalu.
Banyaknya peraturan dan kebijakan Pemkot Pontianak yang berpotensi bersifat intoleran membuat perlu adanya peraturan yang membahas hal ini. Temuan ini didasari dari pembedahan 930 peraturan dan kebijakan di Kota Pontianak yang dilakukan dengan metode representasi, redistribusi dan rekognisi.
“930 kebijakan dibedah menggunakan pendekatan itu, ada satu perda yang membatasi jemaat Ahmadiah indonesia di Pontianak. Perda ini dianggap intoleran karena tidak memenuhi salah satu unsur dari 3 Re,” ujar Ningsih.
Sudah Tolerankah Pontianak?
“Yang paling penting adalah membicarakan menyadari kota Pontianak yang sekelilingnya yang punya histori konflik panjang dan bagaimana kita melihat histori konflik itu berhubungan dengan kehidupan berpolitik kita saat ini”.
Pengkristalan kebencian kebencian terhadap sebuah sentimen harus dihindari karena dapat memicu terjadinya konflik. Histori kota Pontianak yang mempunyai konflik berkepanjangan menjadi sebuah landasan pembuatan raperda ini agar tidak ada kejadian serupa yang terjadi karena sikap intoleran.
Baca juga: Merawat Toleransi Anak Muda Melalui Tepelima 3
Kondisi masyarakat yang intoleran merupakan hasil dari peraturan peraturan yang selama ini “melanggengkan” hal tersebut. Ivan Wagner, seorang akademisi hukum yang turut hadir dalam diskusi KONTRA juga memaparkan bahwa struktur hukum yang ada sekarang, terutama yang berada di Pontianak masih terdapat intoleransi didalamnya.
“Struktur hukum yang ditemukan dalam penelitian adalah ada yang toleran, ada yang intoleran, dan ada yang berpotensi keduanya. Kondisi saat ini adalah konsekuensi dari hal tersebut. Bagaimana kita membenahinya, diusulkanlah raperda tersebut,” ujarnya.
Selanjutnya, Ivan memaparkan bahwa saat ini kepentingan politik dapat memecah belah dan menimbulkan sikap intoleran antar masyarakat. Relasi antar manusia yang terbentuk secara alami, yang dimana menjadi dasar dalam sikap toleransi dalam bermasyarakat dapat menjadi rusak oleh adanya kepentingan dalam politik pragmatis.
“Bagaimana bisa warna kulit, perbedaan suku, perbedaan ras dikapitalisasi demi kepentingan politik pragmatis. Apa modal mendasar sehingga semua sisi kehidupan? Yang meramu semua perbedaan adalah relasi di antara kita semua. Bahkan di antara kita dengan benda yang mati,” ujarnya.
Diakhir, Ivan menjelaskan bahwa jika struktur hukum yang menjunjung nilai toleransi diterapkan, maka akan menciptakan payung hukum yang melindungi segenap masyarakat yang menjadi korban intoleransi.
“Struktur hukum dan budaya hukum yang toleran akan menghasilkan prosedur hukum yang toleran. Kalau hal tersebut dipenuhi, maka Pontianak bisa mengakselerasi kemajuan dan kesejahteraan,” pungkasnya.
Reporter : Samuel
Penulis : Daniel