“Engkau adalah bunga-bunga dalam satu kebun, daun-daun dari satu ranting, buah-buah dari satu pohon, dan gelombang-gelombang dari satu lautan,” adalah tulisan Baha’ullah yang dibacakan oleh Sandy, dalam kediamannya yang teduh.
mimbaruntan.com – Untan, Lingkar diskusi ringan sore itu mengantarkan kami dalam tautan sejarah, peliknya rintangan, serta makna kemajemukan oleh umat Baha’i, yang menginginkan persatuan dalam ramainya perbedaan.
Lukisan-lukisan tuan rumah nampak indah, bersatu dengan dinding berwarna putih tulang. Lima kursi empuk tersusun rapi, seolah siap sedia memanjakan siapapun yang menduduki. Di tengahnya terdapat meja panjang bernuansa cokelat.
Dengan senyum ramah, tuan rumah mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri pada Minggu, (12/7). Adalah Shandy dan April, pasangan penganut agama Baha’i, menyambut para tamu yang hadir dengan berbagai keingintahuan di kepala.
“Baha’i adalah agama yang independen, bukan bagian dari rahim agama manapun,” ujarnya memulai obrolan. Posisi duduknya tegap, seolah siap menceritakan banyak hal.
Agama yang lahir di Persia pada tahun 1844 ini memiliki 3 prinsip dasar, yaitu mengakui keesaan Tuhan, meyakini ketunggalan agama, dan meyakini kesatuan kemanusiaan.
Pada saat kami larut dalam obrolan, terdengar langkah kaki dari dalam rumah. “Silahkan diminum, om dan tante…” ucap seorang anak laki-laki membawa nampan berisi hidangan dan minuman. Glow, adalah anak pertama dari pasangan Baha’i ini. Dengan wajah sumringah ia mempersilahkan kami untuk mencicipi hidangan yang telah diletakkan di atas meja. Setelah membalasnya dengan senyum yang tak kalah ramah, kami melanjutkan obrolan.
“Ketika saya mengakui Baha’ullah sebagai utusan agama Baha’i, dalam waktu bersamaan saya juga harus mengakui semua agama beserta rasul-rasul lainnya,” ungkap Shandy dengan semangat. Riuh rendah celotehan anak kecil dari halaman terdengar, menjadi bumbu-bumbu tambahan dalam hangatnya obrolan.
Lika-Liku Hambatan Umat Baha’i
Kudapan ringan di meja belum tersentuh, sebab larut dalam cerita perjuangan pasangan suami istri ini ketika memperjuangkan akta nikah dan akta kelahiran sang anak. Ternyata, butuh waktu bertahun lamanya bagi mereka untuk mendapatkan lembaran kertas berisi pengakuan dari negara.
“Saya menikah pada tahun 2014 di Tangerang Selatan. Awalnya kami mengurus akta nikah di Jakarta Selatan, kemudian dialihkan ke Jakarta, naik lagi ke Dagri namun masih ga bisa. Akhirnya, kami pulang ke sini dan ngurus di Kubu Raya baru bisa dapat Akta Nikah di tahun 2017,” cerita Shandy dengan raut wajah lelah, mengingat kembali perjuangannya bersama sang Istri beberapa tahun silam.
Shandy melanjutkan cerita, dahinya sesekali mengernyit mengingat beberapa kasus serupa yang dialami oleh umat Baha’i di daerah lainnya, bahkan ada yang harus menunggu selama belasan tahun untuk mendapat akta nikah, lebih lama daripada dirinya yang harus menunggu tiga tahun.
Sore itu langit terlihat cerah, namun sanggup menghantarkan suasana muram akibat fakta selanjutnya yang Shandy ungkap. Kami hanya bisa terdiam ketika mengetahui bahwa nama keduanya tertulis di halaman yang berbeda pada Akta Kelahiran sang anak. Butuh waktu selama kurang lebih dua bulan melalui rangkaian persidangan yang melelahkan.
“Nggak bisa diubah lagi. Perasaan nggak nyaman karena namanya dipisah. Kalau ada kalimat putusan pengadilan kesannya seperti anak angkat. Kalau ayah kandung kan namanya disatukan dengan Ayah dan Ibu, tapi ini nggak digabung,” paparnya.
Kendati mengalami berbagai rintangan, tak membuat pasangan Baha’i ini patah arang mempertahankan prinsip-prinsip dalam ajarannya. April mengungkapkan bahwa seluruh manusia dianggap setara, tidak ada kelompok yang superior maupun inferior. Setiap jiwa adalah makhluk rohani dari satu sumber yang sama, sebab yang beragam adalah tampilan luarnya.
“Kalau hanya dapat hak sipil, tapi masyarakatnya terpecah belah, akan lebih menyedihkan. Rasisme masih ada, memandang agama yang berbeda masih dengan perasaan kebencian, itu yang bahaya,” tegasnya.
Raut wajah serius dan semangat berapi-api yang Shandy tampilkan, menekankan bahwa perbedaan kepentingan antar kelompok tidak akan menyelesaikan permasalahan.
“Persatuan adalah hal paling krusial saat ini,” tegas Shandy saat ditanya mengenai pentingnya persatuan umat di tengah keberagaman yang ada.
Bertindak Eksklusif Bukan Pilihan
Rengekan dan tangisan bayi menjadi nada pengiring dalam diskusi. Walaupun tengah menggendong seorang bayi perempuan dalam dekapannya, tak mengurangi semangat April untuk ikut menguntai cerita demi cerita tentang Baha’i.
April menambahkan bahwa Baha’i bukan agama eksklusif yang menutup diri inidengan sekitar. Keterbukaan kepada masyarakat sekitar menjadi hal yang penting, mengingat prinsip Baha’i yang mengganggap bahwa semua makhluk itu sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah.
“Manusia harus mencintai manusia lain tanpa syarat dan tanpa memandang latar belakang apapun,” pungkas April sembari menenangkan sang anak dalam pelukan.
Seringkali, umat baha’i mengadakan Kelas Belajar bagi anak-anak, Kelompok Studi bagi remaja dan Ruhi Institut bagi orang dewasa yang dibuka secara umum dan bersifat gratis.
“Semua kegiatan Baha’i bukan hanya untuk umat Baha’i aja, karena kita cakupannya untuk dunia yang lebih luas. Kita harus bekerjasama dengan yang lain juga, untuk sama-sama memajukan masyarakat dalam berbagai aspek,” timpal Shandy yang duduk di depan kami.
Tak muluk-muluk, pria berbaju kaos itu mengatakan hanya ingin diperlakukan seperti warga negara lainnya. Ia lebih mementingkan hadirnya persatuan dan kesatuan yang ada di masyarakat. Menurutnya, yang menjadi prioritas adalah keharmonisan masyarakat saat ini.
Obrolan santai tetapi mendalam itu membuat kami enggan untuk beranjak. Namun kami tidak berdaya menghadapi waktu, mengingat langit yang sudah begitu sore. Lingkar diskusi itu kami tutup dengan doa bersama, masing-masing dari kami dan juga Shandy diberi kesempatan melantunkan puja-pujinya. Perasaan tenteram setelah berdoa tidak bisa kami elakkan, hingga kepulangan kami dari kediaman keluarga Baha’i ini.
Penulis : Dedek, Putri, Joko
Editor : Monica