“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”
Itulah yang diucapkan oleh founding father kita, Soekarno. Mantra itu terucap saat beliau berpidato memperingati hari pahlawan 10 November, 56 tahun lalu. Semua yang terucap dari mulutnya seperti sebuah sabda. Termasuk kalimat tadi mampu mengingatkan mereka yang sudah mulai lupa. Sebentar lagi kita akan memperingati hari pahlawan nasional yang ke-71. Apakah kesaktiannya masih tahan uji sampai sekarang?
Jangan terlalu merampot anyot mempertanyakan kesaktian yang ujung-ujungnya membandingkan dengan ilmu kanuragan Setnov, mending kita sama-sama menjernihkan pemikiran dulu dengan membedakan pahlawan dan pejuang. Karena pahlawan dan pejuang adalah hal yang serupa tapi tak sama.
Di dalam UU No. 20 Tahun 2009, “Pahlawan Nasional adalah gelar yang diberikan kepada WNI atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang kini menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan suatu prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.” Namun definisi pejuang tidak dijelaskan dalam Undang-Undang. Kok pejuang seperti didiskriminasikan ya. Akhirnya definisi pejuang ketemu dalam KBBI yang artinya, “Orang yang berjuang, prajurit.”
Orang biasa pasti akan mudah mencari perbedaan dengan membandingkan dua definisi itu. Untuk generasi kekinian yang hobinya ngemil mecin, sepertinya harus menjelaskan tiga empat kali lebih panjang sampai mereka benar-benar paham. Tapi saya tidak serajin itu. Sederhananya begini, pahlawan sudah pasti pejuang, tapi pejuang belum tentu pahlawan. Karena pahlawan adalah pejuang yang diberi gelar oleh Presiden berkat jasa, prestasi, atau karyanya.
Tapi itu tidak mudah, banyak persyaratan. Termasuk harus meninggal dunia terlebih dahulu. Sampai sekarang, sudah 169 tokoh yang ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Di antaranya ada 157 pria dan 12 wanita. Baru satu dari Kalimantan Barat. Jumlah itu akan terus bertambah dengan banyaknya pejuang-pejuang dari seluruh penjuru Indonesia yang diusulan menjadi pahlawan.
Kita mulai masuk paragraf serius. Jika ditarik waktu ke belakang, tepatnya 10 November 1945 kita akan menyaksikan betapa hebat, dahsyat, dan menggeloranya semangat pejuang-pejuang Surabaya dari berbagai kalangan di masa itu mempertahankan daerah Surabaya dari tentara sekutu yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Robert Mansergh.
Koitnya Brigadir Mallaby yang belum jelas siapa dalangnya adalah pemicu Pertempuran Surabaya ini. Tentara sekutu menuduh pejuang Indonesia yang berada di balik terbunuhnya Mallaby. Oleh karena itulah penggantinya, Robert Mansergh mengirimkan ultimatum kepada para pejuang Indonesia untuk menyerahkan senjata.
Gimana?
Sudah mulai pusing atau efek paling parah adalah muntah darah?
Kamu lebay. Itu bukan muntah darah karena baca paragraf sok serius. Itu karena kamu kebanyakan ngemil mecin boy. Mari kita lanjutkan sampai kamu muntah nanah.
Gubernur pertama Jawa Timur, Raden Mas Tumenggung Ario Suryo, atau lebih akrab diingatan sebagai Gubernur Suryo mengambil sikap menolak ultimatum itu. Lalu keluarlah kata-kata beliau yang sampai sekarang selalu diingat, “lebih baik hancur daripada dijajah kembali.”
Senada dengan Gubernur Suryo, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang sudah dari awal tidak menghendaki adanya tentara sekutu di Surabaya menolak dengan tegas ultimatum itu. TKR merasa itu adalah tuduhan yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya dan merasa bahwa tentara sekutu tidak berhak memerintahkan apapun terhadap rakyat Indonesia karena Indonesia sudah merdeka. Tak ayal, ultimatum itu dianggap sebuah penghinaan terhadap kedaulatan Indonesia.
Melihat keenganan rakyat Indonesia untuk mematuhi ultimatum sampai waktu yang ditentukan, 10 November, pukul 06.00 tentara sekutu memutuskan untuk melakukan serangan, baik dari darat, laut, maupun udara. Riclefts, sejarawaan dari Australia, menyebut ini sebagai “Pembersihan Berdarah”.
Sekutu mengira Surabaya sudah takluk oleh serangan-serangan dahsyat itu hanya dalam waktu tiga hari. Namun di bawah kepemimpinan Bung Tomo yang berhasil mengobarkan semangan arek-arek Suroboyo, pertempuran itu terus berlangsung sampai tiga minggu. Tidak ada catatan pasti mengenai korban jiwa dalam perang itu. Namun dapat diperkirakan korbannya mencapai 6.000-16.000 jiwa pejuang Indonesia. Katanya, sekutu (di Indonesia dimotori oleh Inggris) juga mengaku ini adalah pertempuran terberat mereka setelah Perang Dunia I. Itu belum bermasuk ratusan ribu rakyat sipil yang mengungsi ke luar Surabaya untuk mencari tempat yang aman.
Pertempuran di Surabaya itu dianggap pertempuran pertama rakyat Indonesia setelah merdeka. Berkat kegigihan dan semangat serta banyaknya pejuang yang turut berjuang mempertahankan kedaulatan Indonesia, Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan dan pertempuran 10 November ditetapkan sebagai hari pahlawan.
Bagaimana generasi milenia di era digital memperingati hari pahlawan? Yang paling mudah dengan upload gambar-gambar hasil ngunduh di mbah google dan nulis caption bertema kepahlawanan. Nonton bareng film-film bertema kepahlawanan seperti Battle of Surabaya, Jendral Soedirman, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Soekarno, Sang Pencerah dan bejibun film-film pahlawan lain. Baca biografi pahlawan dan pejuang seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Bung Tomo, Gubernur Suryo, sampai Madun yang katanya rela mati demi teman-temannya dalam perang di Surabaya. Membuat teatrikal kepahlawanan seperti yang dilakukan oleh para pecinta sejarah Roodebrug Soerabaia. Mengunjungi museum dan melihat diorama pahlawan, atau ziarah ke Taman Makam Pahlawan (TMP).
Jika satu dari sekian bentuk ekspresi memperingati hari pahlawan sudah kamu lakukan, apakah kamu sudah bisa disebut abdi negara yang ingin membesarkan bangsa dengan menghargai jasa pahlawannya seperti ucapan Bung Karno? Sepengamatan penulis, kebanyakan (tetapi tidak menggeneralkan) yang dilakukan mereka hanya formalitas belaka. Beberapa bentuk ekspresi tadi dilakukan berkelompok dan terkesan ikut-ikutan. Contohnya saat berziarah ke TMP, tanyai satu persatu apa tujuan mereka? Pasti kebanyakan menjawab memperingati hari pahlawan. Lalu apa sebenarnya hari pahlawan. Apakah hanya sebuah seremonial, atau lebih parah lagi sebagai ajang eksistensi diri dan golongan bahwa mereka tidak lupa 10 November adalah hari pahlawan.
Jadi sepertinya tidak layak disebut bentuk ekspresi. Saya koreksi pernyataan di awal, bahwa ini adalah bentuk eksistensi diri dan golongan. Karena ekspresi menurut KBBI, ekspresi adalah pengungkapan atau proses menyatakan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dan sebagainya). Jadi ekspresi harusnya berasal dari dalam diri, bukan terpaksa ikut atas nama formalitas dan ikut-ikutan yang lagi kekinian. Tapi kembali ke atas, saya tidak menggeneralkan semuanya, pasti ada orang yang benar-benar menjadikan hari pahlawan sebagai bentuk terima kasih dan penghargaan atas jasa-jasa mereka.
Salah satu cara lain untuk menghormati jasa para pahlawan dan pejuang adalah dengan mengabadikan nama mereka sebagai nama jalan. Entah sejak kapan di mulainya dan oleh siapa, saya kurang tahu. Tapi yang pasti di seluruh dunia dan di seluruh daerah Indonesia, pasti memakai nama pahlawan dan pejuang. Salah satunya di Pontianak. Sebut saja jalan Ayani, Jendral Urip, Sutoyo, Panglima Aim, Adi Sucipto, KH. Ahmad Dahlan, Teuku Umar, dan masih banyak lagi. Pasti banyak yang mengenal tokoh-tokoh di atas karena sedari TK sampai kuliah (mungkin), selalu dicekoki dengan nama-nama pahlawan. Selain itu, kita juga biasa menyaksikan mereka di poster-poster harga 3000-an di pasar-pasar atau toko-toko buku.
Lalu bagaimana nasib nama-nama jalan seperti Rais A. Rahman, Gusti Sulung Lelanang, Jeranding, Ya’ M Sabran, Alianyang, M. Sohor dan lain-lain. Jika kamu ditanya nama itu berasal dari mana dan kamu jawab sejenis buah-buahan, sejenis makanan, atau sejenis pepohonan, kamu benar. Benar-benar korban mecin. Sudah jelas itu nama orang. Tapi saya yakin banyak yang tidak tahu siapa mereka. Rata-rata orang yang sudah tinggal lama di Pontianak tahu di mana letak jalan-jalan itu, apalagi kurir JNE. Kalau masih belum tau, cek aja google maps.
Kalau belum tahu siapa mereka, sepertinya kalian belum terlalu banyak membalik lembaran buku sejarah. Mereka memang jarang terdengar atau tertulis di buku-buku LKS (mungkin sejarah di Indonesia masih terlalu Jawasentris), apalagi di TV. Mereka juga tidak hadir waktu Bung Karno mmprokamirkan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur. Namun bukan berarti mereka tidak punya peran dalam pergerakan. Tidak bisa dikatakan tidak berkorban.
Bahkan beberapa dari mereka adalah orang-orang yang pernah diasingkan di Tanah Merah, Boven Digoel. Mereka ditangkap akibat aktivitas pergerakannya. Tugu Digulis adalah simbol penghormatan bagi 11 pejuang yang diasingkan di Boven Digoel. Ini terlihat dari 11 bambu runcing yang menjadi bentuk utama dari tugu tersebut. Selain itu, nama mereka juga diabadikan menjadi nama-nama jalan di Kalimantan Barat.
Jadi saya berani mengatakan, nama-nama tadi lebih dikenal sebagai nama jalan daripada nama pejuang. Saya bertanya kepada orang-orang di sekeliling saya dan hanya sebagian kecil yang mampu menjawab. Itupun hanya sebatas tahu bahwa mereka pejuang dari Kalimantan Barat. Rata-rata hanya menjawab nama jalan dan mentok-mentok jawabannya, “kayak pernah dengar.” Seharusnya saat dunia ada di genggaman, mencari tahu siapa mereka bukan hal yang sulit. Namun akibat arus globalisasi yang kian kencang, generasi kekinian terseret untuk lebih menyukai “Barat” dan perlahan-lahan cinta terhadap jati diri mulai terdegradasi.
Melihat perjuangan dan pengorbanan yang telah dilakukan pejuang dan pahlawan, sudah seyogiyanya kita sebagai penikmat dari kemerdekaan mengucapkan terima kasih dan menghargai jasa-jasa mereka, dimulai dari mengenal mereka. Karena kata orang, tak kenal maka tak sayang. Kenali mereka, sayangi mereka, dan banggalah akan perjuangan mereka.
Penulis : Aris Munandar