Oleh: Nico
mimbaruntan.com– Media baru-baru ini geger memberitakan TKI di Arab Saudi yang segera dipulangkan ke tanah air. Sebanyak 450 orang TKI bagian dari hampir 8.000 orang yang terkena razia dan masuk penjara Tarhil, Shumaisi, dan Jeddah yang merupakan penjara-penjara imigrasi Arab Saudi.Pemulangan ke Indonesia diawali Sabtu 9 Nopember 2013 bagi mereka yang tergolong rentan, dimana mereka adalah lansia, ibu hamil, anak balita, serta mereka yang sakit. Sekitar 77.000 buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen karena kelambanan pihak perwakilan Indonesia dalam memproses pembaruan dokumen hingga tenggat amnesti berakhir. Jumlah yang tidak berdokumen itulah bagian dari 8.000 TKI yang terkena razia dan dipenjara. Bisa jadi mereka yang belum ditangkap karena penjaranya sudah penuh.
Itulah gambaran TKI yang berada di Arab Saudi, dimana pekerja rentan diperkosa dan disiksa, itulah sebabnya yang dipenjara juga terdapat anak-anak karena mengikuti ibunya yang terkena razia. Ditambah masih berlakunya sistem kaffalah yang mengharuskan para pekerja asing di Arab Saudi menyerahkan paspornya kepada majikan dan saat akan keluar dari Arab Saudi harus mendapatkan izin dari majikan untuk legalisasi exit permit. Sistem tersebut menjerat buruh migran layaknya budak yang di-legal-kan pada era modern ini. Apakah pemerintah Indonesia tidak berkehendak menawar hal tersebut supaya dihilangkan? Atau jangan-jangan pemerintah malu memohon penghapusannya, karena juga malu warga negaranya menjadi “budak” disana ? sehingga lebih memilih mendiamkan saja.
Setelah Arab Saudi, negara tidak ramah berikutnya adalah Malaysia. Begitu yang sering saya dengar di dialog-dialog baik diradio maupun televisi.Yang perlu dipertanyakan kemudian adalah, kenapa justru TKI banyak memilih dikedua negara tersebut ? Padahal soal gaji di Arab Saudi konon kabarnya juga tidak tinggi-tinggi sekali, berkisaran 2.000.000 kalau dirupiahkan.Kalau pilihan TKI ke Malaysia, mungkin bisa dipahami karena dekat wilayah Indonesia dan bahasa di malaysia yang tidak jauh beda dengan bahasa Indonesia.
Atas banyak kasus ketidak beresan yang terjadi pada TKI, biasanya tiap departemen meng-klaim kebenaran argumentasinya, setahu saya belum pernah ada departemen yang berani mengakui kesalahannya. Dan yang juga banyak terjadi adalah menyalahkan agen-agen pengirim tenaga kerja. Pertanyaannya adalah, kalau sudah bisa menyalahkan bukankah sangat aneh dan memalukan kalau tidak bisa membetulkan? Bukankah ketidakberesan itu sudah terjadi berpuluh-puluh tahun, dan masih tetap terjadi.
Begitulah nasib “Pahlawan Devisa” yang sering kita sematkan pada TKI yang bekerja diluar negeri, julukan hiburan kebanggaan yang entah untuk siapa, Apakah untuk negara? Sementara negara penerima TKI jangan-jangan menganggap mereka adalah budak di-era modern ini ? Banyak tokoh yang berpandangan bahwa negeri ini jauh lebih kaya dari Malaysia, tapi lupa bahwa berjuta rakyatnya menjadi “Pahlawan Devisa” disana, yang belakangan sering kita dengar ditembak mati polisi diraja Malaysia yang konon diberi label Perampok. Karena sekelompoknya sudah mati semua, jadi tidak bisa dibuktikan apa yang terjadi, yang ada adalah pembenaran argumentasi sepihak saja, dan kita hanya bisa pasrah begitu tidak berharganya nyawa “Pahlawan Devisa” kita dimata mereka. Padahal pemerintah kita tidak pernah melakukan hal semacam itu terhadap warga negara mereka, bahkan yang nyata-nyata jelas tertangkap sebagai penyelundup narkoba sekalipun. Yang ada malah pengacara-pengacara kita berlomba adu strategi untuk meringankan hukuman meraka dibawah perlindungan sumpah pengacara. Sungguh keberpihakan dan rasa nasionalisme dramatis yang dipertontonkan.
Lalu, bagaimana tindakan yang dilakukan pemerintah kita dalam rangka penyelamatan “Pahlawan Devisa” yang berjumlah lebih 70.000, yang juga banyak “menggelandang” di kolong jembatan Palestine di Arab Saudi? Dan yang lebih penting adalah, tidak lupa mencegah hal semacam itu terjadi berulang kali yang sudah berpuluh tahun tidak kunjung ada solusinya.