Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa asal usul dan ragamnya, berlainan bahasa dan adat istiadatnya, kemajuan dan cara hidupnya. Semua merupakan satu keluarga besar. Satu keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian, dan permusuhan.
Garin Nugroho, sang sutradara menggunakan buku memoar Soegija, Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan yang ditulis oleh Gregorius Budi Subanar pada tahun 2012 sebagai acuan penyusunan skenario.
Film dengan latar tahun 1940-1949 ini mengambarkan sosok pejuang dari sudut pandang yang cukup asing di wajah perfilman Indonesia. Jika biasanya kita akan disuguhi kisah-kisah patriotik para tokoh sentral seperti soekarno, kartini ataupun jendral seodirman. Namun kali ini kita dibawa untuk melihat kisah seorang pejuang yang tidak banyak diketahui orang-orang.
Kisah ini menceritakan Albertus Soegijapranata, S.J., seorang uskup (pimpinan gereja katolik) pribumi Indonesia pertama yang berkedudukan di semarang. Kita akan disuguhkan bagaimana upaya yang dilakukan Soegija dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan caranya.
Menampilkan sisi humanis yang tidak lekang bahkan di tengah perang dan perbedaan yang masih sangat kental. Karakter Soegija dibangun sedemikian rupa sebagai sosok yang selalu mengedepankan kepentingan orang banyak, mengupayakan banyak hal untuk mencapai kemerdekaan dan pribadi yang selalu mampu mengatur setiap emosi.
Ia juga dapat dikatakan melakukan silent diplomacy dalam setiap pergerakannya, hal itu dapat dilihat saat ia meminta Vatikan untuk mengakui kedaultan Indonesia, juga saat mengirimkan surat ke Sutan Syahrir selaku perdana menteri saat itu untuk membentuk pemerintahan daerah di Semarang guna menetralisasi situasi.
“Berikan persedian makanan terlebih dahulu kepada masyarakat, biarkan para imam yang terakhir merasa kenyang. Jikalau persedian sudah menipis dan habis, biarkan imam yang pertama merasa lapar.”
Banyak hal di film ini yang lebih mencolok daripada karakter utama dan akan menarik perhatian lebih besar antara lain keluarga ling-ling, pak Besut seorang penyiar radio yang akan selalu memberikan berita terkini, Robert si mesin terkuat dari Belanda (katanya) padahal nyatanya juga manusia yang masih memiliki hati, serta kisah cinta pelik antara seorang gadis pribumi dan seorang pria berkebangsaan Belanda (Meriyem dan Hendrick) yang harus kandas karena keadaan.
“Kau tidak perlu mengusirku, karena aku akan pergi.”
Walaupun banyak karakter dan kisah yang lebih ditonjolkan di dalam cerita, hal itu tidak membuat sang uskup tersisihkan sebagai karakter utama.
Sinematografi film ini sangat apik karena mampu membawa kita untuk menjelajahi ruang dan waktu. Dimana latar tempat dan waktunya sangat akrab akan kondisi saat itu, juga hal menarik lainnya yaitu terdapat sekitar 5 (lima) bahasa yang digunakan untuk menyesuaikan tiap karakter di masing-masing scene, banyak pula lagu-lagu yang akan diperdengarkan yang membuat mood pun terbawa suasana karenanya.
Jika penasaran kalian dapat memasukannya ke movies list, mungkin saja sedang bosan menonton dorama ataupun drakor. Maka beralihlah sebentar ke karya dalam negeri yang tak kalah bagusnya. Setelah menonton film ini, mungkin kalian akan mulai memahami mengapa Soegija dapat bersanding dengan para tokoh pahlawan nasional lainnya.
Karena setiap rasa dapat tersampaikan hanya ketika kalian melihat, menyentuh dan mendengarnya.
Satu hal penting lainnya yang dapat kita pelajari melalui kisah ini yaitu bagaimana kita memanusiakan manusia terlepas siapa mereka.
Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka jika gagal untuk mendidik diri sendiri.
Penulis : Peggy Dania dan Ester Dwilyanas