Mimbaruntan.com, Untan – Saat ini infrastruktur penunjang kegiatan ekonomi seperti jalan raya masih menjadi masalah klasik di Indonesia. Namun jika menarik waktu jauh ke belakang, saat masih bernama Hindia Belanda, ada nama yang termahsyur ke seluruh penjuru dunia. Ialah Herman Willem Daendels yang mampu membangun jalan raya pos dari ujung barat sampai ujung timur pulau Jawa hanya dalam waktu satu tahun. Jalan Raya Pos Anyer-Panurukan atau Grote Postweg. Sebuah prestasi pada masanya.
Lahir di Hattem, Gelderland, Belanda pada 21 Oktober 1762. Ayahnya merupakan politikus dan ia ingin anak kedelapannya ini mengikuti jejaknya. Daendels mengambil studi bidang hukum di Universitas Harderwijk.
Di masa mudanya, ia ikut kelompok yang memberontak terhadap kerajaan Belanda. Lalu ia melarikan diri ke Prancis. Berhubungan dengan penguasa Prancis melalui Daendels, Gelderman & Co, sebuah firma yang didirikannya bersama teman-temanya. Ia dan penguasa Prancis melakukan transaksi senjata. Seiring berjalannya waktu, ia mulai mendapat perhatian dan kepercayaan dari Penguasa Prancis.
Baca Juga: Kemerdekaan dan Analogi Pernikahan
Daendels adalah seorang pemuja tiga mutiara hasil Revolusi Prancis, yaitu Liberte, Egalite dan Fraternite (kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Membawa tugas berat yang diamanahkan oleh Louis Napoleon untuk mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris. Louis Napoleon sendiri merupakan adik dari Kaisar Prancis, Napoleon Bonaparte. Saat itu (1810-1814) Belanda sedang dikuasai Prancis yang dipimpin Le Petit Caporal.
Saat menjabat sebagai Gubernur Jendral, ia pernah meminta persetujuan Raad van Indie (Dewan Hindia) untuk membangun jalan Anyer-Panurukan. Dewan mengamini, namun hanya menggelontorkan dana yang sedikit.
Keterbatasan dana dalam pembangunan jalan membuat Daendels meminta bantuan kepada penguasa setempat untuk melanjutkan pembangunan, termasuk Bupati Sumedang, Pangeran Kusumadinata IX.
Pangeran Kusumadinata IX lahir pada tahun 1762. Ia menjabat sebagai Bupati Sumedang saat berusia 29 tahun. Ia lebih dikenal sebagai Pangeran Kornel. Dalam berbagai catatan, ia diceritakan sebagai sosok yang sangat mencintai rakyatnya.
Cadas Pangeran letaknya sekitar 6 km baratdaya Kota Sumedang, yang dilalui jalan raya Bandung – Cirebon. Daerah ini merupakan pegunungan karang, sehingga membutuhkan tenaga lebih untuk membangun jalan.
Koeslah Soebagyo Toer dalam ulasannya mengenai kekejaman Daendels dalam pembangunan jalan Anyer-Panurukan sebagai pelengkap buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels karya Pramoedya Ananta Toer memberikan sedikit keterangan mengenai pembangunan jalan di Cadas Pangeran. Pangeran Kusumadinata IX tidak tega melihat rakyatnya melakukan kerja rodi untuk membangun jalan dengan menetak pegunungan karang hanya dengan alat yang sederhana seperti kampak dan alat sederhana lain. Rakyatnya menjadi tumbal dalam memuluskan niat Daendels.
Buku Pangeran Kornel karya Memed Sastrahadiprawira mengungkapan bahwa saat Daendels melakuan inspeksi memantau pengerjaan jalan raya pos di Sumedang, ia menemui Pangeran Kusumadinata IX. Mas Galak itu menguluran tangan hendak menjabat tangannya, Pangeran Kusumadinata IX menyambutnya dengan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya memegang hulu keris yang ada di pinggangnya.
Peristiwa itu menjadi percikan api yang memulai pemberontakan rakyat terhadap kesewenang-wenangan Daendels. Daendels pun menyadari bahwa ini lebih dari sebuah ketidaksopanan bawahan terhadap atasan, tetapi upaya pemberontakan yang sedang diupayakan oleh seorang bupati.
Baca Juga: Gerakan Peduli Sejarah, Kuwas Pontianak Terbitkan Buku Pertamanya
Sejarawan Universitas Indonesia, Djoko Marihandono dalam makalahnya Merekonstruksi Mitos Pembangunan jalan Raya Cadas Pangeran 1808: Komparasi Sejarah dan Tradisi lisan menyangsikan beberapa kebenaran yang ada dalam cerita yang berkembang. Namun ia menuliskan, ada dua alasan Daendels membangun jalan ini.
Pertama, alasan ekonomi. Agar pengangutan komoditi ekspor seperti kopi dan padi dapat mudah diangkut dan itu memeperkecil biaya pengangkutan. Kedua adalah alasan militer, agar mobilisasi tentara lebih mudah saat terjadi serangan dari Inggris. Namun jalan ini sesuai namanya, lebih dikenal sebagai jalur komunikasi melalui pos yang dibagi menjadi 4 distrik dengan kantor pos besar, yaitu Banten, Batavia, Semarang dan Surabaya.
Agaknya, Daendels bukan pengamal sejati cita-cita Revolusi Prancis mengingat pola kepemimpinan yang kejam dan mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan yang diterapkannya saat menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda ke-36. Berkat kekejamannya, banyak nama lain yang disematkan padanya, seperti Guntur, Besi dan Galak. Bukan tanpa alasan itu menjadi nama lain dari Daendels.
Untuk membangun Jalan Raya Pos sepanjang 1000 km dalam waktu setahun, ia menumpahan puluhan ribu darah rakyat Indonesia. Tepian Jalan Pos itu menjadi kuburan masal bagi mereka yang tak tahan kerja berat tanpa upah dan malaria. Namun tak bergetar hati Daendels, apalagi menghentikan niatnya.
Angka 5.000 menjadi yang paling sering disebut, sekaligus diragukan untuk menunjukkan jumlah korban pembangunan jalan raya pos di Sumedang. Namun dibalik penderitaan yang dialami rakyat dalam membangun jalan ini, tak bisa dipungkiri manfaatnya dirasakan sampai sekarang. Bisa kurang bisa lebih mengingat sumbernya yang kurang jelas. Di pertengahan jalur Bandung – Cirebon dibangun Tugu Pangeran Kornel sebagai simbol untuk mengingat peristiwa heroic Kusumadinata IX dan rakyat Sumedang menentang kekejaman Daendels.
Penulis : Aris Munandar
Editor : Rio Pratama