Dua puluh dua tahun berlalu, saat kerusuhan yang melanda Jakarta tahun 1998, menjadi hari bersejarah bagi Rakyat Indonesia. Kita masih ingat sebuah peristiwa bersatunya Mahasiswa dan aktivis untuk menuntut agar Soeharto segera mengundurkan diri.
Selama 33 tahun Soeharto berkuasa, penanaman modal asing merajalela hampir tanpa batas. Kesewenangan, korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, pelanggaran HAM, monopoli ekonomi dan perampasan hak rakyat Indonesia juga mengisi hari-hari Indonesia sepanjang 33 tahun kekuasaan Soeharto. Kekuasaan Soeharto mampu di runtuhkan oleh demontrasi besar besar Mahasiswa, serta buruh kala itu. Namun, kasus penculikan dan penembakan aktivis terjadi tahun 1997 dan 1998 hingga kini masih dalam kegelapan. Tidak ada kejelasan dari pemerintah terhadap pelanggaran HAM berat tersebut.
Satu per satu Mahasiswa gugur di tembak mati di jalan, tempat mereka menyampaikan aspirasi, yaitu, Moses Gatotkaca (8 Mei 1998), Hedriawan Sie, Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan dan Herry Hartanto (Trisakti 12 Mei 1998), dan beberapa aktivitas lainnya yang hilang hingga saat ini. Suara-suara kritis para aktivis di bungkam dan di lenyapkan. Rezim Soeharto dan kroninya dianggap bertanggung jawab atas hilangnya puluhan aktivis. Pasalnya ada puluhan aktivis yang masih hidup hingga kini, ada yang ditemukan meninggal, dan ada pula yang berstatus hilang, tidak jelas masih hidup atau sudah meninggal.
Reformasi tidak gratis, reformasi dibayar tunai dengan darah dan nyawa puluhan mahasiswa dan aktivis (di luar dari ribuan lainnya yang luka dan cacat). Reformasi lahir dari darah, keringat, air mata, luka dan memar puluhan ribu Mahasiswa. Di atas seluruh pengorbanan itulah kebebasan dibuka, demokrasi dibangun dan Indonesia merangkai kembali harapan di atas kesetaraan tanpa diskriminasi.
Pemerintah saat ini seolah-olah abai dan menutup mata terhadap pelanggaran HAM dan mementingkan keuntungan Oligarki, terbukti saat ini sudah dua puluh dua tahun reformasi hasil buah perjuangan mahasiswa. Reformasi dikorupsi oleh rezim-rezim penguasa lama dan bahkan pengkhianatan terhadap reformasi menjadi alasan bahwasanya pemerintah tidak pernah serius menangani penculikan dan pelanggaran HAM aktivitas 1998. Kesewenangan, korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, pelanggaran HAM, monopoli ekonomi dan perampasan hak rakyat Indonesia juga sampai saat ini masih menghiasi tahan air ini.
Begitu pula tidak ada kejelasan terhadap para pelaku pelanggaran HAM 1998. Para pelaku yang mungkin saat ini duduk manis dengan kekuasaannya bahkan ada yang berada di lingkaran pemerintah saat ini. Bekerja sama melindungi diri agar terbebas dari kasus berat tersebut. Ini akan Menambah daftar panjang bahwa Kasus ini tidak akan pernah selesai dan akan menjadi abu yang hilang di telan waktu.
Kami berharap pemerintah dan Komnas HAM segera menyelesaikan kasus ini karena sudah ada beberapa bukti pelaku atas hilangnya aktivis 1998.
Penulis:Werudy Alexander Seran
(Kabid PPIP Himapol Untan)