Lagu kanak-kanak berjudul “Nenek Moyangku Seorang Pelaut” karya Saridjah Niung menggambarkan aktivitas pribumi Nusantara dalam dunia bahari. Lagu tersebut dapat terlinierkan dengan kajian historis yang dilakukan oleh Nahkoda Sejarah Maritim Indonesia, Adrian B. Lapian.
mimbaruntan.com,Untan– Melalui kesimpulan singkat dari kajian historis yang dilakukannya dan ditulis dalam buku Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad Ke-16 dan 17, sudah sejak lama kerajaan-kerajaan yang letaknya terpencar di seluruh Nusantara terhubung secara ekonomis dalam jaringan perdagangan lokal dan internasional melalui laut.
Adrian B. Lapian mengelompokkan kerajaan-kerajaan tesebut menjadi dua jenis, yaitu kerajaan agraris dan kerajaan pesisir. Kerajaan agraris umumnya bergantung kepada pertanian dan hasil hutan. Sedangkan kerajaan pesisir bergantung pada pelayaran dan perdagangan sebagai penghasilan utamanya. Ketergantungan itu membuat ketersediaan pelabuhan yang strategis menjadi penting sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh serta bongkar muat barang.
Baca Juga : Kelompok Masyarakat dalam Geliat Ekonomi Borneo Barat
Saat Hindia Belanda berkuasa di Nusantara, kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara masih tegak berdiri. Meski sebagian besar sudah dalam pengaruh Hindia Belanda dan terikat dalam perjanjian-perjanjian dagang hingga membuat kerajaan-kerajaan itu menjadi tidak lagi otonom.
Di Kalimantan Barat yang pada masa pemerintahan Hinida Belanda disebut Westerafdeeling van Borneo, terdapat beberapa kerajaan pesisir yang bergelut dalam dunia perdagangan, seperti Kesultanan Pontianak, Sambas dan Sukadana. Pelabuhan dan aktivitas niaganya memiliki peran yang signifikan bagi kehidupan ekonomi masyarakat pada abad ke-19 di Kalimantan Barat. Pelabuhan-pelabuhan di Kalimantan Barat juga melakukan aktivitas perdagangan luar negeri.
Perdagangan dalam negeri berlangsung dengan tempat-tempat di sepanjang pantai Barat, Sebagian lagi dengan tempat-tempat di sepanjang sungai Kapuas dengan cabang-cabangnya. “Lokasi Kalimantan Barat yang berhadapan langsung dengan jalur perdagangan Internasional, baik di Laut Cina Selatan maupun wilayah Semenanjung Malaka, merupakan aspek geografis yang strategis secara ekonomi,” kata Any Rahmayani, peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalimantan Barat. (20/5)
Pelabuhan juga merupakan bandar besar yang menghubungkan pelayaran dan perdagangan antara pusat dan daerah pedalaman. “Pontianak, Singkawang, Selakau, Pemangkat dan Sambas merupakan bandar bagi seluruh aktivitas dagang di Borneo Barat baik di pesisir menuju pedalaman. Begitu juga sebalinya,” ujarnya.
Pelabuhan Pontianak merupakan pelabuhan di Pantai Barat Borneo yang masyhur di kalangan kapal-kapal dagang Eropa. Pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Alkadrie, Pontianak telah membuka pintu bagi para pedagang terutama para pedagang Arab, Tionghoa dan Eropa terutama Inggris dan Belanda. Pontianak pun telah terbiasa berdagang dengan Perlak, Selangor, Riau-Lingga, dan Melaka.
Sedangkan Pelabuhan Singkawang adalah pelabuhan terpenting ke-2 di Borneo Barat setelah Pontianak. Wilayah yang banyak dihuni oleh para petani dan pedagang Tionghoa. Uraian dari P.J. Veth dari tahun 1854 yang diterjemahkan oleh Pastor Yeri dan terbit pada tahun 2017 mengatakan bahwa Singkawang merupakan sebuah kampung yang memiliki fungsi sebagai pelabuhan bagi perdagangan yang dilakukan kongsi besar di Monterado.
Sementara itu, Kerajaan Sambas sampai seperempat pertama abad ke-19 memiliki pelabuhan yang cukup besar. Kota bandar Sambas terbangun melalui kegiatan perdagangan dan pelayaran yang didukung oleh kekuatan politik Kesultanan Sambas. Kedudukan kota ini didukung oleh para bangsawan yang dikenal memiliki kemampuan maritim yang kuat seperti Pangeran Anom atau Sultan Muhammad Ali Syafiuddin I (1815-1828). Kerajaan berkerjasama dengan perompak atau biasa disebut dengan orang laut di perairan barat Kalimantan untuk mengamankan kegiatan perdagangan dan pelayaran di wilayahnya.
Sejarawan Kalimantan Barat, Safaruddin Usman, mengungkapkan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 merupakan masa kejayaan Kesultanan Sambas dengan tambang emasnya dan dibantu oleh pendatang dari Tiongkok. Ia menguraikan alur masuknya pendatang Tiongkok menuju ke pedalaman. “Melalui Sungai Peniti untuk menuju ke Monterado dan Mandor,” katanya.
Baca Juga :Tanaman Niaga dari Pesisir dan Pedalaman
Di Semenanjung Malaka ada dua kolonialis yang berkuasa, yaitu Inggris dan Belanda. Karena adanya persaingan dagang dengan Inggris, membuat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Pelabuhan Pontianak, Sambas dan Sukadana sebagai pelabuhan bebas agar dapat menarik lebih banyak pedagang asing untuk singgah. “Pelabuhan-pelabuhan tersebut dianggap sebagai garda depan untuk menyaingi Singapura,” kata Any Rahmayani. Kebijakan penetapan Pelabuhan Pontianak dan Sambas sebagai pelabuhan bebas termuat dalam Resolutie Gouverneur Generaal 18 Februari 1833 no.39
1942 yang ditulis Any Rahmayani dan Irfan Natarsa, sebagian besar perdagangan luar negeri wilayah Borneo Barat adalah menuju pelabuhan di Singapura yang dikuasai Inggris. Meski pemerintah Hindia Belanda mencoba untuk mengalihkan alur perdagangan ke Batavia dan Jawa, namun pedagang di Borneo Barat tetap lebih senang berdagang di Singapura.
Penulis : Aris Munandar