Semua orang menyambutnya dengan tawa, padahal dia baru saja datang kemari. Oong kembali membuat semua orang di ruangan tersebut tertawa dengan kata pertamanya yang mengucapkan salam dengan intonasi yang berayun-ayun. Hampir semua dari mereka terpingkal-pingkal dengan kata-kata selanjutnya, dan dia juga ikut tertawa. Aku hanya memandang dengan heran apa yang mereka tertawakan. Padahal kata-kata yang keluar dari mulut Oong bagi ku tidak lucu, sangat-sangat tidak lucu, membosankan.
Oong tidak berhenti disitu, tingkah lakunya juga membuat orang-orang geli, ia menari dengan gaya khasnya dibukanya kaki sampai mengangkang dan mengatup kembali hingga berulang-ulang dengan ekpresi muka yang dibuatnya seperti orang gila, lalu tangan yang seolah-olah seperti tangan perenang dan ditutup dengan gerakan erotik dari tubuhnya yang invalid menambah kesan konyol yang tidak bisa ditawar lagi untuk ditertawakan.
Hal itu tidak juga membuat ku sedikitpun geli. Mereka sangat konyol menertawakan tingkah gila Oong, dia menghibur dengan merendahkan dirinya. Sampai Oong meninggalkan ruangan tersebut, akupun masih bertanya-tanya apa yang ditertawakan orang-orang? Bagian mana yang lucu dari kata dan sikap Oong?
Dari sini aku menyimpulkan pertama, Oong mencoba menghibur dengan cara yang tidak sepatutnya, melecehkan harkat serta martabatnya sebagai manusia berpendidikan dan membuat ku malu mengakui bahwa dia sahabat ku. Kedua, selera tawa orang-orang yang hadir disini adalah selera yang rendahan dan tidak berperi kemanusiaan.
Malam itu aku putuskan untuk pergi keluar mencari angin. Bagiku ruangan tersebut adalah kumpulan orang-orang konyol dengan selera humor yang rendahan. Tapi di jalan raya aku melihat banyak orang sedang tertawa. Anak-anak jalanan tertawa, pengamenpun ikutan tertawa, dan orang-orang di jalan saling memandang dan mereka juga tertawa.
Terasa aneh, malam yang bermandikan cahaya kali ini menjadi rumit untuk ku pahami, dalam benak ku kenapa orang-orang begitu mudah tertawa? Sedangkan hidup ini bukan sekadar tertawa, ditertawakan dan menertawakan.
Sampai di depan gang, orang-orang menyambut ku kali ini dengan senyum dan tidak sama sekali tertawa. tapi setelah motor ku melewati mereka, mereka tertawa sampai terdengar di telinga ku. Tak jelas apa yang mereka tertawakan. Sungguh hari ini semua orang senang tertawa. “Tertawalah sepuasnya, esok hari kalian akan hadapi kenyataan hidup yang lebih keras”, kata ku dalam hati.
Keesokan harinya televisi juga menertawakan sesuatu yang tidak perlu ditertawakan. Lihat saja, sebuah kecelakaan menjadi guyonan. Sangat murahan, seorang pengendara motor terpeleset dan menabrak trotoar dan terpelanting, lalu mereka yang didalam televisi menyambut dengan suara gelak tawa.
Tak tahan dengan keadaan seperti ini membuat ku pergi ke sebuah cafe, aku temangun sendirian. Di samping tempat ku, ada sebuah keluarga yang sedang merayakan ulang tahun anak sulungnya. Mereka terdiri dari ayah, ibu, anak sulung perempuan, anak tengah laki-laki, dan anak bungsu yang kembar perempuan. Sejak pertama ku datang hingga sekarang mereka selalu tertawa, bahkan sang ibu sejak tadi tak henti-henti tertawa hingga dengan volume yang cukup meneriaki telinga ku.
Kening ku berkerut, kaca mata ku sudah dipenuhi dengan keringat sendiri, aku tak habis pikir apa yang sedang mereka tertawakan lagi. Hingga sampai akhirnya aku berang dan menoleh dengan mata yang menatap dengan tajam ke arah mereka. Si kembar bungsunya ketakutan dan memilih diam, begitu juga anak sulungnya, tetapi ayah, ibu dan anak tengahnya itu malah membalasku dengan tertawa.
“Haha, haha, haha,” tawa mereka arahkan ke arah ku.
Aku semakin geram. Menertawakan ku adalah suatu bentuk yang melecehkan harga diri ku. Sampai seorang kawan menepuk pundak ku, batal lah reaksi dari kegeraman ku. Telat satu menit saja, aku bisa saja terbang ke arah keluarga tadi dan menghampiri mereka lalu mencabut tawa mereka.
“Woi ngapa kau masam gitu,” kata Oong.
“Aih kau, ganggu konsentrasi ku saja,”
“Haha, haha,” tawa Oong pecah, dia terbahak-bahak menertawai ku.
Makin jadi kesal ku. “Cukup Ong, kalau saja kau bukan kawan ku, akan ku hajar kau, hentikan tawa mu Ong, atau ku habisi juga kau malam ini”.
Oong pelan-pelan menghentikan tawanya. “Coba lihat muka mu, kau seperti banteng yang siap menyeruduk, hahahaha.
“Diam, teriak ku.
“Tertawalah Yon, kau sudah lama kehilangan tawa mu, waktu acara kemarin, ku ajak kau ke acara komedi, kau juga tak mau tertawa dan bahkan kau mengutuk orang-orang yang tertawa. Kau harus tahu Yon, dengan tertawa kita bisa meringankan beban kita”.
“Tapi tidak dengan melecehkan diri mu Ong, tidak seperti itu”.
“Coba kau perhatikan keluarga di samping kita Yon, mereka sangat bahagia, mereka tertawa melepaskan beban mereka Yon”.
Akupun memandang lagi ke arah keluarga tersebut. Mereka kelihatan sangat bahagia, mereka senang tertawa, sedikit kata yang aneh muncul dari salah seorang dari mereka, mereka semua menyambut dengan tawa.
Anak tengah bercerita tentang kakaknya yang galak tersebut namun begitu lugu di hadapan sang pacar, kakak jago kandang kata anak tengah. Lalu anak sulung juga balas bercerita tentang adiknya yang begitu grogi saat pacarnya main kerumah, padahal katanya sebelum bertemu, dia tidak akan grogi dan menyanyikan sebuah lagu. Tapi bukannya menyanyikan lagu, kalimat saja terbata-bata seperti robot yang rusak balas kakaknya. Sejurus kemudian semua tertawa, ayahnya terpingkal-pingkal tak mampu menahan geli sampai-sampai mengeluarkan air matanya.
Aku pun tak mampu menahan kagum, senyum merekah di wajah ku yang kusut. Oong mencibir ku, “Katanya tak mau tertawa, tertawa juga kau”.
“Ini bukan tawa kata ku, ini hanya senyum kecil”.
“aah sama saja, itu juga bagian terkecil dari tertawa, haha kalau kau ingin tertawa, tertawalah Yon”.
“Setidaknya mereka lucu, dan cara mereka bercerita menurut ku tidak merendahkan dirinya, tidak seperti kau Ong, yang bergaya seperti cacing kepanasan”.
“Apa kau bilang? Berani-berani kau katakan aku. Belum tahu kau kalau aku sedang marah”.
“Katanya kau tidak akan marah,”
“Sejak kapan aku katakan? Sebelumnya juga tidak ada aku katakan”.
“Ohh, setahun yang lalu Ong, hahahaha”
“lama-lama aku bisa gila karena kau Yon. Sudahlah kita pulang saja”.
Akhirnya setelah berlama-lama memandang ke arah gadis-gadis cantik, aku dan Oong pulang kerumah kami masing-masing, tetapi sebelum pulang ketika melewati keluarga yang gemar tertawa tersebut aku senyum-senyum saja melihatnya tapi mereka menatapku dengan heran. Mungkin mereka merasa aneh dengan senyum ku.
Di hari berikutnya, ketika matahari sedang naik ke permukaan dan memancarkan panas yang menyengat, Oong dikejutkan dengan sebuah berita yang aneh. Dalam laman sebuah media lokal menyebutkan “Meski Patah Kaki, Pria Tersebut Malah Tertawa”. Oong langsung saja membuka laman tersebut, dan begini bunyinya :
Seorang pria tertawa saat tahu kakinya patah. Alih-alih kesakitan seorang pria berinisial Y tersebut malah tertawa. Pria naas tersebut mengalami kecelakaan di sebuah bundaran. Dia menabrak seorang pengendara motor lainnya. Peristiwa tersebut terjadi sekitar pukul 23.00 WIB, tadi malam.
Menurut saksi mata pria tersebut tertawa, sebelum kecelakaan, dan sesudah tahu kakinya patah dia juga tertawa. Bahkan tertawa terbahak-bahak.
“Ketika tahu ada sebuah kecelakaan, saya lalu berhenti, dan mencoba menolongnya. Namun saya heran, orang kecelakaan bukannya nangis atau gimana, itu malah tertawa, aneh” ujar Rizal seorang pengendara yang juga melewati bundaran tersebut.
Mengenai penyebab kecelakaan, Harun mengaku tidak melihat dengan seksama saat kecelakaan terjadi. Meski tidak memakan korban jiwa akan tetapi menyebabkan seorang pengendara mengalami patah kaki, dan yang satunya luka ringan.
Berita tersebut membuat Oong tertawa, geli hatinya melihat kelakuan seorang tokoh dalam berita itu, Tidak lama berselang, Oong coba menghubungi Yoyon. “Siapa tahu dengan berita ini bisa membuat Yoyon tertawa, dan menyadarkannya dari penyakit anti tawa tersebut,” kata Oong dalam hati.
“Hallo, Yon, Kau ada dimana? Coba kau lihat berita hari ini di laman suara hati manusia, seorang pria tertawa ketika kakinya patah, haha konyol”.
Namun bukannya Yoyon yang menjawab, malah Ibunya yang mengangkat telponnya. Ibunya mendeham, “Yoyon sedang dirumah sakit, dan yang sedang kau bicarakan itu Yoyon,” Kata ibunya, dan langsung memutuskan teleponnya.
Oong hanya terdiam, dia menelan pahit orang yang ditertawainya ternyata adalah sabahatnya, parahnya dia tertawa di depan Ibunya. Tak nyaman hatinya mendengar berita tersebut, dia pun segera pergi kerumah sakit.
Setelah beberapa kali telepon tak diangkat Yoyon, Dia memutuskan untuk mencari Yoyon langsung kerumah sakit, tujuan utamanya adalah rumah sakit negeri,namun hasilnya nihil, rumah sakit swasta juga tak ada, hingga dia pun mengunjungi rumah sakit ke enam di Pontianak akhirnya dia mendapatkan pasien bernama Tuan Yoyon Budi Utama.
***
“Masya Allah Yon, apa yang kau lakukan sehingga separah ini,” ucap Oong dengan lirih.
“Haha, ini biasa Ong, tumben kau perhatian dengan ku”.
“Ya Allah Yon, walaupun kau sangat menjengkelkan dan berwajah masam, kau tetap sahabat ku”.
“Aih, sudah jangan berpura-pura Ong, terharu aku mendengar kau, cobalah kau hibur aku ong”.
“Baiklah Yon, eeh Yon kau begitu aneh, kenapa ketika kecelakaan kau tertawa? padahal kau begitu sulit sekali tertawa”.
“Kau yang mengajari ku tertawa Ong, Hahahahaa. Aku hanya ingin menertawai kemalangan nasib ku”.
“Hahaha,” Oong membalas juga dengan tawa.
Karya : Gusti Eka