Indonesia dikenal dengan jumlah penduduk terbanyak nomor 4 setelah China, India, dan Amerika Serikat. Oleh sebab itu, wajar saja apabila Indonesia memiliki keberagaman suku, ras, agama, dan golongan. Dengan melihat keberagaman ini bisa menciptakan keindahan bila dirajut dan dipelihara dengan baik dalam bingkai NKRI, tetapi dapat juga menjadi momok yang menakutkan bila tidak dipelihara dengan baik.
Namun belakangan ini negara kita menghadapi persoalan yang cukup serius yaitu isu SARA yang dijadikan sebagai senjata untuk memenangkan suatu pemilihan umum. Heru Nugroho dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (Volume 1/2 tahun 1997) mengatakan SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Dalam konsep SARA ada pengertian konflik horisontal yang disebabkan oleh suku, agama dan ras dan juga konflik vertikal yang bersumber pada perbedaan “ekonomi-politik” antargolongan. Dikutip dari CNN Indonesia (Kustin Ayuwuragil, Rabu, 08/08/2018) Survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan bahwa politik identitas atau isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) jadi faktor tertinggi yang diprediksi akan menghambat gelaran Pemilu 2019. Rendahnya toleransi dipandang terkait dengan isu ini.
Baca Juga: PMB = PEMBODOHAN?
Negara kita yang terdiri dari berbagai Suku, Agama dan Ras sangat mudah dipengaruhi oleh penggunaan isu SARA. Para aktor politik di negara kita masih suka menggunakan isu ini untuk mendulang suara dalam pemilihan umum. Isu SARA sendiri sangatlah mudah namun berbahaya untuk dijadikan sebagai senjata. Bahayanya karena dapat menimbulkan perpecahan yang mengakibatkan masyarakat terpecah, fanatisme, paranoid terhadap kelompok lain.
Masyarakat kita yang sejak awal hidup damai berdampingan satu sama lainnya harus dikorbankan dengan isu SARA tersebut. Jika hal demikian terus menerus terjadi tanpa adanya komitmen untuk melawannya, cita-cita demokrasi dan reformasi kita terbukti gagal. Penggunaan isu SARA bisa saja menyebabkan generasi muda yang berasal dari golongan “minoritas” yang sebenarnya memiliki kompeten dan kualitas yang baik dapat dikandaskan cita-citanya hanya karena dia adalah seorang yang berasal dari kalangan “minoritas”.
Aktor politik yang menggunakan isu SARA biasanya “miskin prestasi” dan menggunakan isu ini sebagai senjata apik untuk tujuan politik. Bak komoditas yang laris manis, isu SARA selalu saja diproduksi dan direproduksi meski rambu regulasi sudah banyak diterbitkan. Isu SARA di negara kita memang masih menjadi “jualan” yang laku disuguhkan saat pemilihan umum. Isu SARA sangat tidak bijak digunakan, karena dalam berdemokrasi setiap orang punya hak untuk dipilih menjadi pemimpin tanpa memandang identitas yang melekat pada diri orang tersebut.
Masyarakat kita dipertontonkan oleh gaya berpolitik yang salah, aktor-aktor politik yang seharusnya memberi pendidikan politik yang baik kepada masyarakat malah mempertontonkan yang tak patut untuk dicontoh. Aktor politik harus lebih sadar untuk tidak bermain-main dengan isu ini, dan kedewasaan berdemokrasi yang mengutamakan prestasi inilah yang harus dibangun.
Penulis: Teo Romondo Paskalis (Mahasiswa Pendidikan Sejarah FKIP Untan)