mimbaruntan.com, Untan – Tiga lembar lima puluh ribu rupiah hari ini tak cukup untuk beli telur, beras, gula, minyak, kopi, dedaunan, biji bijian hingga rerumputan. Beberapa waktu terakhir harga-harga barang kebutuhan keluarga melonjak naik, kalau dikerucutkan adalah bahan pangan yang jadi makanan sehari-hari. Namanya beras, harga jualnya menyala seperti jargon masyarakat akhir-akhir ini. Kata sebuah lembaga independen yang mencatat banyak hal di negeri ini, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa harga beras per februari 2024 ini mencapai 15.157 rupiah. Jika dibulatkan berarti mencapai 16 ribu rupiah untuk harga ecerannya. Kamu boleh tanya ibu, bibi atau siapapun dalam keluarga yang biasa bersentuhan langsung dengan ramainya pasar, itu pun jika kamu masih peduli. Soalnya, tidak semua orang sadar kalau harga beras naik padahal tiap hari makan olahan beras, terutama untuk orang-orang yang berprinsip ‘belum kenyang kalau belum makan nasi’.
Bapak perdagangan negeri ini bilang kalau harga beras yang tinggi karena fenomena El Nino yang bikin masa tanam dan panen tahun ini mundur sehingga stok beras lokal menipis. Tapi, kita nggak boleh melulu menyalahkan alam dan fenomenanya. Bapak pertanian mention kalau luas tanam padi juga disebut-sebut sebagai alasan stok beras kita mengecil, yang awalnya 7,44 hektar kini berkurang drastis menjadi 5,49 hektar saja per februari 2024. Belum lagi ditambah dengan volume pupuk subsidi yang berkurang 50% tahun ini, yang awalnya 9,55 juta ton kini hanya 4,7 juta ton. Bukankah itu angka yang besar??!!? Wajar aja kalau misal ada kekhawatiran stok beras nasional tidak akan terpenuhi. Dan akan lebih masuk lagi kenapa harga beras melonjak tinggi.
Baca Juga: Mulyanto, Sosok Pejuang Yang Dikriminalisasi
Lebih lucunya lagi, kenaikan harga beras ini sudah terjadi sejak awal tahun baru. Momentum politik yang telah dilalui Indonesia juga dicurigai mengapa harga beras melonjak (banget). Ketika Jokowi bilang bahwa kelangkaan beras di berbagai belahan dunia dan daerah terjadi karena perubahan iklim, maka bukankah seharusnya begitu? Lalu dari mana datangnya beras-beras yang digunakan oleh para partai politik dan para calon legislatif untuk kampanye bagi-bagi sembako yang mereka jalani. Terjadi kampanye sembako di berbagai daerah pada saat kondisi jumlah beras di pasar tradisional dan swalayan menipis. Jika kembali pada hukum permintaan dan penawaran, tingginya permintaan terhadap beras menjelang pemilu dan berbagai hari raya tentu membuat stoknya juga akan berkurang pesat. ketersediaan beras yang tak sebanding dengan kebutuhan tentu akan membuat harganya meninggi.
Bagi mereka yang kaya, kenaikan harga ini tentu tak begitu berpengaruh bagi mereka. Namun berbeda dengan masyarakat kelas menengah ke bawah hingga miskin, kenaikan harga tiga sampai empat ribu rupiah tentu mengharuskan mereka merogoh kocek lebih dalam. Kembali pada data BPS, dari 55 juta masyarakat miskin di Indonesia, sebanyak 62% proporsi belanja digunakan untuk membeli pangan. Ini menunjukkan bahwa prioritas belanja masyarakat ada pada bahan pokok, sehingga kenaikan harga sedikit saja akan berpengaruh secara signifikan. Masyarakat akan berpikir dua tiga kali untuk membelanjakan uang mereka, kita akan mencari barang dengan harga termurah KARENA kita hanya punya uang ‘segitu’ saja. Jika ada barang yang harganya naik sementara pendapatan kita tidak bertambah, maka akan ada ‘barang lain’ yang akan dikorbankan. Beras adalah makanan yang masih dianggap pokok bagi sebagian dari kita, sehingga semahal apapun harganya tentu akan tetap dibeli.
Ini adalah hal yang menjengkelkan, sebab lingkaran setan akan dimulai dari sana. Semua yang mahal-mahal akan membuat kita bersikap ‘lebih baik uangku disimpan saja atau beli barang yang lebih murah harganya’. Ketidakmauan masyarakat membelanjakan uangnya akan membuat daya beli menurun. Tentu daya beli masyarakat yang menurun akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, karena belanja konsumsi rumah tangga menyumbang hingga 53%.
Baca Juga: Solidaritas ABSB, Tuntut Pembebasan Mulyanto
Seakan tidak ada habisnya, sebagai masyarakat miskin dan biasa-biasa saja ‘uangnya’, tentu kita ingin segala macam alasan tingginya harga beras bisa segera dituntaskan. Harga bahan pangan yang selalu tinggi menjelang hari raya sudah seperti tradisi tahunan. Perilaku berulang terus menerus membuat khususnya para ibu-ibu, bibi-bibi, tante-tante dan entitas lain harus mengatur keuangan mereka lebih ketat dan menawar dengan tekak yang lebih tinggi pada para pedagang yang mengambil untung sama tipisnya. Sekali lagi, langkah ugal-ugalan pemangku kebijakan akan kembali pada rakyat di bawahnya.
Penulis: Sebut Saja Mawar