Awal tahun 1974, rumah di Jalan Timor 14, Jakarta terlihat lebih ramai dari sebelumnya. Rumah sekaligus kantor Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) itu nampak lebih sering dikunjungi elit politik. Utamanya dua asisten pribadi Soeharto. Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani. Juga mantan aktivis Darul Islam/Tentara Islam (DI/TII) binaan Ali Moertopo.
Disinilah cetak biru kerusuhan Malari direncanakan. Malari lebih akrab ditelinga untuk menyebut kerusuhan yang membakar Jakarta pada 15 Januari 1974. Bermula dari demonstrasi mahasiswa yang resah akan modal asing yang menguasai Indonesia dan bentuk protes kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka. Demonstrasi, konvoi, dan long march itu berakhir dengan bentrokan antara aparat dan mahasiswa, pembakaran mobil dan motor Jepang, dan perampokan pusat-pusat pertokoan.
Awalnya kontor GUPPI berada di gedung Departemen Agama. Persoalan biaya membuat organisasi ini tidak berkembang. Lalu hadirlah Ramadi yang menawarkan bantuan. Pada tahun 1973, dipindahkan ke rumah Ramadi, di Jalan Timor 14. Setelah kuku Ramadi menancap tajam dalam GUPPI, ia menjadikannya alat menggalang suara pesantren untuk Golkar. Melenceng dari tujuan awal didirikannya organisasi itu.
Ramadi adalah penasihat Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI). Cukup aneh saat orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan Islam menjadi penasihat di sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh ulama untuk tujuan memperbaiki sistem pendidikan di pesantren.
Mulai terlihat Ramadi ikut dalam rivalitas dua kubu. Soemitro dan Ali Moertopo sudah lama dikabarkan tidak sepaham dan tidak saling suka. Awalnya perihal benturan kepentingan antara Kopkamtib yang dipimpin Soemitro dengan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin Ali-Soedjono.
Sebenarnya Opsus di bawah koordinasi Kopkamtib. Namun Ali Moertopo tak pernah melaporkan hasil kinerjanya terlebih dahulu kepada Soemitro. Ali Moertopo lebih memilih langsung melapor pada Soeharto. Sejak itulah Soemitro merasa dibelakangi.
Diperparah lagi memang kedua orang ini dengan satuan yang dipimpinnya suka berbeda pandangan. Misalnya soal gerakan mahasiswa. Ali Moertopo menilai gerakan mahasiswa itu berbahaya, namun tidak dengan Soemitro. Ia menganggap bahwa belum berbahaya dan merupakan konsekuensi logis dari makin terdidiknya masyarakat.
Ramadi, pria kelahiran Pontianak, tahun 1913. Pernah menjadi jaksa tentara berpangkat kolonel dan mantan anggota MPR dari partai Golkar 1971. Heru Cahyono dalam buku biografi Pangkobkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 menggambarkan Ramadi dari penuturan Soemitro. Ramadi adalah sosok yang jalannya tertatih-tatih, kurang tangkas dalam berpikir, dan lebih suka duduk-duduk serta bicara yang tidak jelas ujung pangkalnya.
Namun siapa yang menyangka, kaki tangan Ali-Soedjono ini ialah sosok di balik “Dokumen Ramadi”. Dokumen yang menghebohkan intelejen negara dan para elit politik. Dokumen tersebut berisi ajakan Soemitro kepada mahasiswa untuk membuat kerusuhan untuk mencongkel Soeharto dari tahta. Namun dibantah oleh orang yang namanya disentil dalam dokumen itu.
Soemitro memang dekat dengan mahasiswa, namun kerusuhan itu di luar kehendak dirinya. Bahkan ia melarang mahasiswa melakukan aksi jalanan karena menyadari akan adanya kesempatan untuk ditunggangi. Soeharto yang mendapat laporan dari Badan Koordinasi Intelejen Negara (Bakin) tentang dokumen itu semula tak terlalu menghiraukan. “Mereka hanya memakai nama Mitro,” ucapnya.
Kontor GUPPI ditenggarai menjadi tempat menyusun rencana untuk menunggangi mahasiswa demi kepentingan elit politik, mengembalikan kewibawan pemerintah, menggasak Soemitro dari posisi Pangkopkamtib, sampai menghukum aktivis yang terlalu kritis dengan kebijakan pemerintah. Arsitek utamanya adalah Ali Moertopo.
Dalam suatu rapat di kantor GUPPI diputuskan yang akan menjadi pelaksana utama penggerak massa adalah Ramadi. Ada dua massa yang dimobilisasi, massa Islam dan di luar Islam. Massa Islam terdiri dari bekas aktivis DI/TII dan pengikut GUPPI yang dikoordinir oleh Kiai Nur. Di luar front Islam, ada kelompok tukang becak dan perman di bawah komando Roy Simajuntak.
Buku Tempo, Masa Misterius Malari: Kisruh Politik Pertama dalam Sejarah Orde Baru mengungkapkan bahwa dalam rapat terakhir menjelang meletusnya Malari, diputuskan bahwa sasaran perusakan adalah mobil-mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca-Cola. “Gerakan itu dibungkus isu ‘bantulah mahasiswa’ untuk menciptakan kesan bahwa kerusuhan dilakukan oleh mahasiswa.” (37:2014).
Tanggal 15 Januari 1974, Hariman Siregar memimpin long march dari kampus Universitas Indonesia di Salemba, Jakarta Pusat menuju Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Tujuannya mengkritik modal Jepang yang masuk ke Indonesia sudah sangat berlebihan. Momentumnya tepat dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang ke Indonesia, kakuei Tanaka.
Sambil melakukan long march, mereka meneriakan tuntutan yang dinamakan Tritura Baru yang isinya bubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri), turunkn harga, dan ganyang korupsi. Mendengar terjadi huru-hara, Hariman Siregar dan para pemimpin mahasiswa lainnya memerintahkan untuk kembali ke kampus masing-masing. Namun saat Hariman dan Gurmilang Kartasasmita sudah sampai di UI, rombongan belum juga tiba.
HarimanHarimanear terjadi pembakaran, penjaharan, dan tembak-tembakan. Telah pecah bentrok yang membuat Jakarta membara. Itulah yang disebut Malari, malapetaka 15 Januari 1974.
Tirto.id pada 15 Januari 2018 dalam Malari 1974: Protes Mahasiswa yang Ditunggangi Para Jenderal menuliskan akibat dari malapetaka tersebut. “Sebanyak 807 mobil dan motor buatan Jepang hangus dibakar massa, 11 orang meninggal dunia, 300 luka-luka, 144 bangunan lika berat, 160 kg emas hilang dari toko-toko perhiasan dan 775 aktivis ditangkap.”
Terungkapnya berbagai peristiwa menjelang kericuhan yang melibatkan elit politik di sekitar Soeharto membuat banyak yang semakin paham bahwa malari bukan sesederhana keresahan mahasiswa terhadap modal asing yang menguasai Indonesia. Silang kepentingan dua kubu, Soemitro sebagai Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban dan Ali Moertopo sebagai asisten pribadi Soeharto adalah sebabnya.
Setelah peristiwa Malari, dua orang yang dianggap bertanggung jawab dan memiliki kepentingan di balik Malari terkena hukuman. Soemitro dipecat dari jabatan Pangkopkamtib. Ali Moertopo dipindahtugaskan menjadi Wakil Kepala Bakin (sekarang BIN). Soeharto juga membubarkan lembaga Aspri (Asisten Pribadi) yang dahulu juga berfungsi sebagai penasehatnya.
Nasib Ramadi lebih tragis. Ia yang mengambil peran dalam Malari sebagai penandatangan “Dokumen Ramadi” dan pelaksana utama penggerak massa untuk membantu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani untuk mendepak Soemitro dengan iming-iming jabatan Menteri Luar Negeri. Mengharap jabatan, namun mendapat tahanan karena tuduhan terlibat Malari.
Karena merasa dikhianati Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, ia menghembuskan isu bahwa kedua orang itulah tokoh utamanya. Awal Desember 1974, Ramadi dijemput dari Rumah Tahanan Militer Budi Oetomo. Ia sempat menolak, karena merasa tidak sakit. Namun akhirnya ia berangkat juga.
Di rumah sakit, Ramadi dilarang dijenguk keluarganya. Seminggu kemudian, Ramadi koma dan meninggal dunia. Banyak pihak menduga ia sengaja dibunuh karena terlalu banyak tahu tentang rahasia Malari.
Penulis : Aris Munandar
Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi Pendidikan Sejarah