Mimbaruntan.com, Untan – Riset yang dilakukan LPM Untan sejak Agustus 2017 sampai Agustus 2018 menyatakan Pengadilan Negeri (PN) Pontianak memvonis 50 perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan 54 tersangka. Rata-rata dari 50 kasus tersebut, vonis yang diterima koruptor adalah 1 tahun 9 bulan. Vonis ini dinilai ringan dan tidak memberi efek jera untuk koruptor.
Semua kasus korupsi di Kalimantan Barat yang dieksekusi oleh PN Pontianak, negara mengalami kerugian sebesar 64.6 miliar rupiah. Ditinjau dari status pelaku korupsi di Kalimantan Barat, dari 54 terdakwa, 44 di antaranya adalah PNS, 9 swasta dan 1 tidak terdefinisi karena kurangnya data.
Sri Haryanti dari Lembaga Gemawan yang mengamati kasus korupsi di Indonesia sejak 2013, merasa tidak terkejut dengan hasil riset yang dilakukan LPM Untan terkait vonis yang ringan terhadap koruptor. “Di Indonesia, tren vonis yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi rata-rata tidak lebih dari dua tahun,” ungkapnya.
Baca Juga: 4 Bakal Calon Ramaikan Pemilihan Rektor Untan Periode 2019-2023
Kualitas dari penegak hukum menurutnya juga merupakan penyebab ringannya vonis terhadap koruptor. Jumlah SDM yang tidak memadai jika dibandingkan jumlah kasus yang ditangani menjadi kendala. Ditambah lagi “keamanan” hakim yang kurang terjamin menjadi tantangan tersendiri dalam penanganan kasus Tipikor.
“Kasus korupsi yang merugikan negara melihatnya jangan hanya pada kerugian dalam bentuk nominal. Tetapi juga dampak sosial bagi masyarakat,” katanya
Adi Rahmad selaku alumni Sekolah Antikorupsi ICW (Sakti) melihat rendahnya vonis yang dijatuhkan pada koruptor karena penggunaan pasal yang ditimpakan kepada koruptor tidak tepat. Undang-undang Tipikor Pasal 2 dan 3 bisa digunakan untuk menjerat koruptor. Namun menurutnya yang dipakai hanya pasal 3.
“Pasal 2 dan pasal 3 bisa digunakan untuk kasus yang relatif sama. Pasal 2 hukumannya minimal 4 tahun penjara. Sedangkan pasal 3 minimal 1 tahun penjara. Penggunaan pasal 3 menjadikan koruptor mendapat vonis ringan,” paparnya.
Baca Juga: Kekerasan Terhadap Perempuan, Sebuah Masalah Yang Tak (Pernah) Usai
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Parulian Siagian menganggap tren putusan Tipikor Pontianak harus dikritisi. Putusan yang ditimpakan rata-rata adalah putusan minimal. Akibatnya dengan putusan yang ringan ini akan memicu faktor pemicu orang untuk berbuat korupsi. Karena hasil yang didapatkan dari korupsi tidak sebanding dengan hukuman yang diterima. “Ini putusan yang biasa saja untuk kasus yang luar biasa,” katanya.
Ia berpendapat, hakim yang terlalu kaku memaknai undang-undang. Mereka tidak menggali lagi nilai-nilai keadilan dalam masyarakat. Hakim-hakim seperti inilah menurutnya yang akan mudah menjatuhkan vonis ringan terhadap koruptor.
“Harus menjadi hakim yang memandang hukum secara progresif untuk menindak kasus korupsi secara adil dan memberikan efek jera terhadap koruptor. Dengan begitulah baru rasa keadilan dalam masyarakat terpenuhi,” ungkapnya
Ketidakpedulian dan sistem pendidikan individual yang diproduksi pendidikan tinggi yang dianggapnya memberi dampak buruk pada penegakkan hukum di Indonesia. Untuk melahirkan hakim-hakim yang berpikiran progresif dalam memandang undang-undang dan memberi efek jera demi menekan kasus korupsi di Indonesia harus dibangun sejak awal. Melalui penanaman cara berpikir kritis terhadap mahasiswa.
Penulis: Aris Munandar
Editor : Fikri RF
Baca hasil riset selengkapnya di sini.