mimbaruntan.com-Untan. “Yang kerja bukan lipstik saya, bukan rambut saya, alis saya, tetapi yang bekerja adalah kemampuan diri saya,” ujar Hendrika Mayora atau yang kerap disapa Bunda Mayora saat mendapat teguran bahwa laki-laki tidak boleh memakai lipstik.
“Indonesia merupakan negara yang cukup konservatif terhadap teman-teman LGBTQ, tetapi kami bersyukur bahwa Maumere itu menjadi representasi Indonesia Mini, Indonesia Yang Progresif,” ujar Bunda Mayora.
Hendrika Mayora adalah seorang pejabat publik transpuan pertama asal komunitas Fajar Sikka yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua BPD Desa Habi, Flores, Nusa Tenggara Timur. Identitas transpuan yang melekat pada Mayora tidak mempengaruhi pekerjaan yang diembannya. Hal itu diakui oleh beberapa pejabat tinggi lainnya bahwa Bunda Mayora memiliki kualitas diri, dan warna unik tersendiri pilihan untuk menjadi laki-laki atau perempuan.
Baca juga: Sumarah, Bersujud untuk Ketentraman
LGBTQ (Lesbian, Gay, Transgender, Queer) merupakan bagian dari orientasi seksual selain heteroseksual yang keberadaannya masih belum diakui di Indonesia. Hendrika Mayora beberapa kali menyampaikan dengan tegas bahwa teman-teman LGBTQ bukanlah penyandang masalah karena seringkali mereka dicap sebagai PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial). Ia secara tegas mengatakan bahwa teman-teman LGBTQ termasuk dirinya sendiri adalah warga negara dan jika diberikan bantuan bukan sebagai penyandang melainkan sebagai penerima manfaat karena itu merupakan tanggung jawab pemerintah.
Mayora juga menjelaskan bahwa LGBTQ merupakan kelompok minoritas dimana kelompok ini sangat rentan dalam masyarakat yang masih memiliki kebudayaan patriarkis. Tanpa mereka pikir ketika seorang transpuan memilih menjadi seorang perempuan, disitulah mereka mengalami hal yang sama dirasakan oleh perempuan lainnya seperti pelecehan bahkan dianggap homoseksual.
“Pada dunia kerja pun selalu pekerjaan dikategorikan bahwa ini pekerjaan perempuan dan ini pekerjaan laki-laki padahal sebuah pekerjaan tidak memiliki jenis kelamin yang seharusnya siapa saja jika mereka memiliki pikiran yang inklusi,memiliki kemampuan dan kapasitas siapapun berhak untuk bekerja, laki-laki atau perempuan setara,” ujarnya.
Pada awalnya, Hendrika Mayora mengaku mendapatkan gunjingan saat dia datang dari Papua ke Jogja karena kulitnya hitam dan rambutnya hingga membuatnya kesulitan mendapat pekerjaan dan memutuskan untuk mengamen. Sehingga pada akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke Maumere.
Baca juga: Iklan Perempuan: Antara Kesetaraan Gender dan Budaya Patriarki
Ketika di Maumere, Mayora bersama teman-temannya memfokuskan diri menjadi volunteer di Komunitas Fajar Sikka, yaitu sebuah komunitas yang berfokus di pergerakan inklusivitas untuk menampik pemberitaan media terhadap waria yang seringkali negatif. Ia juga sempat menjadi tenaga bantuan di posyandu, juga menjadi guru, serta membuka ruang penjuru di Sikka. Saat itulah Ia membuktikan kepada masyarakat bahwa ia mampu bekerja dengan kualitas diri sebagai seorang pribadi dengan identitas gender tanpa membohongi siapapun.
“Teman teman harus belajar sugesti dan menghargai diri, tubuhku otoritasku dan tanggung jawabku, ukuran bajumu belum tentu sama dengan ukuran bajuku maka itu kalian harus menunjukkan kualitas diri yang baik.” ujarnya.
Hendrika Mayora memberikan pesan kepada anak muda dan para pekerja transpuan lainnya bahwa anak muda saat ini harus menjadi anak muda yang inklusi yang dapat memberikan pengaruh positif terhadap krisis kepercayaan di Indonesia juga kepada pekerja transpuan dapat terus berjuang ditengah-tengah kehidupan dan terus bermanfaat.
“Aku bisa menunjukkan ini kualitas diriku dan warna diriku. Saya bersyukur selama setahun itu saya bisa menunjukkan kualitas diri saya,” pungkas Mayora.
Penulis: Hilda
Editor: Yoga