mimbaruntan.com, Untan– Melalui Sokola Institute, ia menjadi pelopor berdirinya sekolah untuk anak-anak suku-suku terasing di 16 titik pelosok Indonesia. Hingga saat ini perjuangannya memberdayakan masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia mengantarkannya menjadi Pahlawan Asia.
Kisah tentang perjuangannya pun dalam mendirikan Sokola Rimba pernah difilmkan oleh rumah produksi Miles Film Pada tahun 2013 yang diberi judul Sokola Rimba. Wajahnya juga seringkali hadir dalam acara talkshow di televisi terlebih pada saat peringatan Hari Kartini dan disebut-sebut menjadi salah satu penggerak emansipasi wanita.
Ialah Saur Marlina Manurung. Nama yang asing terdengar bagi sebagian orang, sebab ia lebih dikenal dengan nama Butet Manurung. Wanita yang lahir dan besar di perkotaan itu menjadi pemateri dalam seminar nasional yang bertema “Pahlawan Dari Pelosok Negeri” pada Sabtu, (9/11).
Baca juga: Ciptakan Pendeteksi Pencurian Helm, Mahasiswa Teknik Sipil Untan Boyong Emas di InIIC
Reporter Mimbar Untan telah hadir lebih pagi di ruang teater 2 gedung konferensi Universitas Tanjungpura dengan suasana ruangan yang formal bersama air conditioner yang menyala, tatap muka antar peserta dan pemateri, keteraturan tempat duduk juga susunan acara, serta makanan ringan yang dibungkus sama rata. Inilah Sabtu pagi yang mempertemukan reporter pada sosok yang seringkali di sebut dalam obrolan santai reporter.
Usai mengisi acara talkshow dan seminar, reporter sempat mengajak Butet Manurung berbincang sebentar. Ia membagi kisahnya dalam meniti karirnya didalam rimba.
“Dengan sombongnya waktu itu saya sempat bercerita sama seorang pendaki yang saya temui bahwa saya sudah kebanyak Gunung. Waktu itu saya sudah mendaki Gunung Himalaya, masih zaman-zamannya ingin menunjukkan diri. Kemudian pendaki itu pamit ingin kesebelah sana katanya ingin mendamaikan dua suku yang sedang berselisih dan saya ngikut, dua suku itu berdamai, terus saya mikir apa yang saya lakukan selama ini kalau tidak memberi dampak pada sekitar,” kisahnya pada kami.
Dari situlah awal mula karirnya dimulai. Masyarakat adat pertama yang dibinanya adalah Orang Rimba Suku Anak Dalam di Jambi yang mulai dibinanya pada tahun 1999. Untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pendidikan kepada masyarakat adat awalnya tidak mudah bagi Butet. Ada banyak peraturan dan kebiasaan masyarakat adat yang semula tidak diketahui olehnya sehingga dianggap melanggar apabila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebiasaan mereka. Butet pun harus berpindah dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain karena mengalami pengusiran. Terlebih lagi tempat bermukim orang rimba di tengah hutan yang memungkinkan untuk diwabahi oleh penyakit malaria menjadi kekhawatiran tersendiri baginya. Belum lagi, Butet harus bertahan hidup dari serangan binatang buas dan pencuri-pencuri kayu yang ingin melukainya.
Meski begitu, hal yang membuatnya terus bertahan adalah kecintaannya terhadap alam dan kepeduliannya terhadap Orang Rimba yang selalu dimanfaatkan membuatnya merasa sedih. Orang Rimba yang sering dimanfaatkan oleh orang luar menganggap orang luar itu jahat namun tidak mengetahui bagaimana cara mengatasi hal itu. Sebagai orang yang berasal dari luar, lahir di luar dan mendapatkan pendidikan dari luar tempat tinggal masyarakat adat, Butet seperti telah melihat dua dunia berbeda dan memahami kenapa hal seperti itu bisa terjadi.
Baca juga: Menjadi Relawan di Wamena, Selasmawati Pemudi Asal Kalbar Berbagi Kisah
Dia ingin menjembatani agar orang luar tidak memanfaatkan Orang Rimba dan Orang Rimba harus menjadi kuat agar tidak dimanfaatkan. Sementara itu pemikiran orang luar yang seringkali menganggap Orang Rimba itu bodoh sehingga dengan mudah bisa mendapatkan tanah dan kayu di hutan Orang Rimba, membuat Butet berpikir bahwa dengan diberikan pendidikan kepada Orang Rimba maka mereka bisa berdialog dengan orang luar.
“Saya melihat orang luar selalu mengatakan orang rimba ini miskin dan bodoh. Sebenarnya Orang Rimba ini selalu berpikir orang luar itu jahat selalu menipu, Nah saya pikir kalau diberikan pendidikan mereka bisa berdialog,” cerita penulis buku Melawan Setan Bermata Runcing itu.
Judul dari bukunya itu merepresentasikan ketakutan yang di alami oleh Orang Rimba ketika hak milik mereka diambil secara paksa oleh orang luar dengan menandatangani surat pemindahan kepemilikan.
“Mereka itu, apapun yang tidak bisa mereka jelaskan mereka sebut dengan ‘setan’ seperti malaria misalnya disebut penyakit setan. Saat saya mengeluarkan pensil, mereka semua teriak dan kabur, karena bagi mereka pensil itu adalah sumber malapetaka, mereka sebut itu ‘Setan Bermata Runcing’ karena dari benda itu mereka telah dipaksa untuk menandatangani surat jual-beli tanah mereka tanpa mereka tahu apa isinya, dan harus kehilangan sebagian hutan yang merupakan rumah mereka. Maka begitulah mereka menganggap pensil itu adalah ‘setan’ si pembawa petaka,” kisahnya sambil tertawa mengingat pengalamannya.
Butet manurung percaya bahwa masyarakat adat itu memiliki kekuatan yang hebat dalam mempertahankan hidup mereka, tidak seperti penilaian orang luar selama ini yang menilai bahwa mereka lemah dan kosong. Ia ingin membuktikan bahwa lewat pendidikan yang tepat masyarakat adat dapat berdaya bahkan bisa menjadi contoh bagi kita untuk belajar banyak hal.
”Saya percaya bahwa masyarakat adat itu punya kekuatan yang hebat bukan seperti standar luar yang orang pakai, sehingga mereka terlihat lemah dan kosong. Saya ingin membuktikan lewat pendidikan yang tepat mereka bisa jadi berdaya dan mereka justru bisa menjadi contoh bagi kita untuk belajar banyak hal,” ujar ibu dua anak itu.
Baca juga: Surya Sang Pelukis Wajah Rektor Untan
Bagi Butet yang dilakukannya tidak bisa disebut sebagai pengorbanan. Pengorbanan menurutnya adalah sesuatu yang kita lakukan tanpa kita sukai. Jika dia diminta bekerja di kantor selama 8 jam dengan menggunakan rok dan sepatu tinggi, itu baru bisa disebut berkorban menurutnya. Tetapi bekerja di hutan bukanlah sebuah pengorbanan karena dia merasa nyaman melakukannya meski kesulitan pasti ditemuinya.
Namun hidup di alam bebas dan memasuki rimba seperti itu bukan masalah baginya yang sudah terbiasa naik gunung. Bahkan Butet bisa membuat rumah sendiri dalam 2 jam dengan menggunakan parang di dalam hutan. Dia juga tahu mana makanan yang beracun dan bagaimana menghadapi ular meskipun dia takut tetapi yang terpenting menurutnya adalah pengetahuan. Berkat pengetahuan yang dimiliki membuatnya tidak mundur dengan mudah setiap kali diusir oleh orang rimba atau bertemu dengan beruang dan ular yang lewat. Hal itu tidak membuatnya berhenti, kesenangannya mengajar di rimba jauh lebih besar daripada ketakutannya.
“Takut ya takut, tapi itu ngga akan bikin aku berhenti. Kesenangan aku melakukan pekerjaan mengajar di rimba itu jauh lebih besar dari ketakutan aku,” ungkapnya.
Kecintaan Butet pada masyarakat adat yang hidup dengan kesederhanaan, di mana semuanya dilengkapi oleh alam membuatnya tergerak membantu mereka agar tetap bertahan. Hal itu dibuktikannya dengan mengabdikan dirinya menjadi guru sekaligus belajar dari mereka. Kehadirannya pun mampu membantu mereka melawan ‘setan bermata runcing’ dengan ilmu yang telah didapat. Saat ini, 16 sekolah rimba sudah berhasil berdiri dan sudah menjangkau 15.000 orang diseluruh Indonesia.
Baginya, disana ada sebuah kemewahan dan kekuatan tersendiri yang membuatnya bertahan. Setiap ingin mencoba pergi dari mereka, hatinya pasti tertinggal di dalam sana, hingga baginya terasa sangat sulit untuk meninggalkan Rimba.
Mengakhiri obrolannya dengan reporter, ia berpesan bahwa kunci dari pergerakannya adalah belajar terlebih dahulu dari masyarakat adat, setelah itu mengajari mereka untuk bisa bertahan.
“Kuncinya adalah mau belajar dari mereka, barulah bantu mengajari mereka, ini yang sering kita lupa sebagai relawan,” pungkasnya sembari tersenyum.
Penulis : Marlin dan Mara
Editor : Riski Ramadani