Subuh itu hawa dingin mengetuk daun telinga yang membuat aku kembali sadar, setelah pergi jauh ke dalam mimpi yang indah. Ku buka kelopak mata sambil melihat ke bawah selimutku.
“Ah, aku basah lagi!”
Sekarang tetesan air dari lubang-lubang atap tak hanya merembes pada selimutku saja, melainkan seluruh kasurku. Kesalku sebentar hilang, beralih pandangku ke arah jendela yang dihentak angin kuat berkali-kali, terus-menerus. Hingga aku takut dan meringkuk di bawah selimut basah.
Kakiku mulai mengerut, entah disebabkan dari basah selimut ini atau rasa takut jahanam yang terus merambat naik.
Jam di dinding menunjukkan waktu 6 pagi. Aku harus bersiap. Aku pun langsung bergegas bangkit dari kasurku yang basah itu. Aku melihat sekeliling kamar sudah penuh orang-orang berkumpul.
“Sial! Aku salah lagi. Ini bukan air hujan, ini air mata mereka. Kenapa aku harus mati di pagi hari yang cerah ini?”
Baca juga: Dipan-Dipan Berkarat
Di tengah transisi antar dunia-akhirat, ingatanku terlempar kepada hutangku kepada negara yang belum dibayar tuntas. “Mengapa aku bisa berada di rumah yang reot dan usang ini? Padahal aku seorang nomor 1 di negeri ini!”
“Hutangku menumpuk! Entah itu dari pajak, janji-janji kampanye, iuran partai, tukang sayur, sampai pelacur di gang kosong itu aku berhutang!”
“Astafirullah, astagfirullah, astagfirullah, jika benar aku sudah mati, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan Munkar dan Nangkir nanti ya Tuhan…”
Aku tidak mau yang terucap di mulut kedua malaikat itu “Fix Ini mah, masuk neraka jahanam.”
Otakku mulai buyar. Suara isak mengelilingi tubuhku. Belum bisa kupercaya. Mimpikah ini?
Aku menampar pipiku berkali-kali, teriakanku pun mengalahkan kerasnya isak itu. Sampai kepada tamparan yang ke-5, semuanya hening. Aku kembali tersadar.
Dan ternyata benar. Aku sekarang sudah beda alam. Kini aku hanya melihat jasadku yang tebaring kaku, yang saat ini sedang di mandikan oleh beberapa orang. Aku melihat Istriku yang sedang menangis sambil memandikanku, dan tiba-tiba aku teringat bahwa ada janji yang saat ini belum aku tepati.
Iya, aku masih punya hutang janji membawanya ke tempat pertama kali aku menyatakan cinta padanya.
Ia ngidam, Istriku sedang hamil saat ini. Bagaimana nasibnya nanti, aku meninggalkan banyak sekali hutang. Argh, sial…
Baca juga: Mak Cu Mis
Kurasa pada orang mati kebanyakan, arwah mereka seharusnya sudah berada di alam lain. Namun tidak dengan arwahku. Apa karena terlalu banyak janjiku yang belum ditepati?
Ah, itu putri ketigaku!
Aku ingin sekali menyapanya. Sayang sekali, ketika hidup aku jarang mengungkapkan afeksi dengan layak. Di belakang, ada Ibunya sedang mengejar dia. Tentu saja Istri cantikku yang malang.
“Kak, mau kemana kok nggak pakai kerudung?” Kulihat putriku mendengus.
“Memang sengaja nggak pakai, Bu. Aku malas.” Ujarnya.
“Loh, kenapa toh? Sebelumnya juga pakai kan…” Tanya Istriku.
Ia membuka pintu rumah, lalu berkata, “Biar Bapak kepanasan lebih lama di neraka, Bu.”
Sejujurnya, aku agak terkejut mendengar perkataan putriku itu. Sebenarnya aku belum berada di neraka, aku tak tahu apa nama tempat ini. Tapi yang jelas ini bukanlah surga.
Sebab jika ini surga, tentu saja aku sudah dihidangkan makanan enak dan bertemu dengan Soeharto. Namun tempat ini sangat sepi dan sunyi. Saking sunyinya aku bisa mendengar suara detak jantungku.
Tunggu sebentar, orang mati tidak memiliki detak jantung! Suara apa ini? Persis seperti suara detak jantung. Membingungkan, situasi ini terlalu membingungkan.
Matikah aku? Seharusnya begitu, sebab aku melihat sendiri ragaku yang kaku. Mimpi ini terasa nyata. Ya atau kenyataan ini cuma mimpi. Aku kembali sadar setelah pergi jauh kedalam mimpi yang indah. Kubuka kelopak mata sambil melihat ke bawah selimutku.
“Oalah, suuu. Basah lagi!”
Penulis:
Cerpen ini ditulis secara “keroyokan” oleh Rizki Arif, Mara, Azis, Niel, Abil, Ayu, Monica, Futri, Nia, Dedek, Mile, dan Putri